KISAH DALAM DIARY
"Apakah kamu yakin akan membukanya, Za? Kan kita tidak tahu itu punya siapa? Apa tak sebaiknya ... kita kasih tahu ibu kost saja?" rengek Tari yang masih ragu dengan keputusan Iza, sahabatnya, untuk membuka sebuah buku diary bergambar sketsa kupu-kupu, yang mereka temukan tadi pagi di halaman belakang rumah kost mereka. Tanpa sengaja.
***
Rerintik gerimis masih bertahan di langit pagi, mengguyur lembut tubuh Tari dan Iza yang tengah mencari cacing di halaman belakang rumah kost untuk praktik biologi di sekolah nanti siang. Namun tanpa sengaja, cangkul yang mereka gunakan untuk menggemburkan tanah, menabrak sesuatu yang keras. Sebuah kotak. Kotor dan penuh lumpur.
Rasa penasaran Za, sapaan akrab gadis berambut ikal itu, memaksa kedua tangannya mengayunkan cangkul lebih dalam lagi.
Setelah dibersihkan, kotak tersebut mereka simpan di bawah kolong tidur kamar Za. "Nanti sepulang sekolah kita buka ya, Ta!"
Sepulang sekolah, rasa penasaran yang sudah menggunung di benak kedua bocah berseragam putih abu-abu tingkat kedua itu, akhirnya dapat meletus juga. Dengan sebuah Cutter, akhirnya kotak tersebut dapat dibuka.
"Diary? Punya siapa ya, Za?" tanya Tari menatap dalam kedua mata sahabatnya.
"Yaelah ... mana ketehek, Ta. Kita buka dan baca isinya ya!" tawar Za singkat.
***
Dear, Perempuanku
Senja kembali menyapa, sayup-sayup rindu perlahan mulai menggoda. Kala tanpa sengaja, kedua mata si tak berdaya ini ... menangkap pelangi dari senyummu yang mewangi.
Perempuanku,
Entah senja ini ... senja yang ke berapa? Bahkan aku tak pernah ingat di mana awalnya. Ketika poros mataku seakan terhenti detaknya, kala parasmu melambai pada sebongkah nyawa yang sudah tiada harga.
Perempuanku,
Mungkin aku adalah sosok yang tiada guna, tak berani ungkap rasa yang senyatanya. Namun biarlah, kunikmati jalanku ... mengagumimu dengan caraku. Meski esok tak pernah aku tau, mampukah senyumku mengembang menatap bahagiamu?
Perempuanku,
Aku berharap, masih tersisa senja esok untukku menatap pelangi dari matamu.
Pecintamu
***
"Ini diary punya siapa ya, Za?" tanya Tari selesai membaca lembar ke-7 pada buku diary tersebut.
"Yaelah ... nanya lagi nih anak. Mana kutahu, Tataku yang oon. Kan kita nemunya bareng-bareng tadi pagi. Tapi kayaknya nih buku yang punya laki deh. Kan kagak mungkin, perempuan manggil 'Perempuanku'," ucap Za dengan gaya sok detektif.
"Tapi kayaknya kasihan deh, Za. Seperti cinta bertepuk sebelah tangan, namun cintanya sungguh tulus, mencintai tanpa harap untuk memiliki," tambah Tari dengan raut wajah yang dramatis, sambil membayangkan adegan sinetron di tivi. Tanpa sadar, Tari telah merebahkan kepalanya di atas bahu kiri Za, sembari senyum-senyum sendiri menatap pada langit-langit kamar yang hanya dihiasi lampu neon kecil itu.
"Halah, sok sinetron gayamu," sanggah Za melepaskan diri dari sandaran gratis Tari. "Tapi sumpah deh, aku jadi penasaran akan lanjutan kisah ini. Tentang siapa tokoh dalam diary ini? Dan kenapa dia menyimpannya dengan cara dikubur di dalam tanah?" Dengan mimik wajah yang serius, Za mencoba menjadi detektif yang mengungkap misteri di balik diary.
"Ya udah, kita lanjut lagi ya bacanya!" tambah Tari semangat.
***
Dear Perempuanku,
Langit senjaku kembali mendung, bukan lantaran perih yang kian menyayat jantung. Bukan! Atau karena hujan yang masih bertengger di batang hari.
Perempuanku,
Namun serupa siang yang tergigil mentari. Dan bagaimana bisa? Matahari yang seharusnya menghangatkan mampu menggigilkan?
Perempuanku,
Dan itulah aku, serupa dahan tanpa daun. Serupa akar tersabit kering. Ketika senyummu, juga renyah suaramu ... tiada lagi menggodaku dalam angan.
Perempuanku,
Kemana engkau seharian ini? Tak dapatkah engkau rasakan, si penyakitan ini ... menantimu dalam resah yang menghujam tak berdarah?
Perempuanku,
Mungkin aku bisa menahan sakit meski ratusan jarum suntik menyusup pada sel-sel darahku yang kental. Namun tidak dengan mataku menahan selarik senyummu di ujung jalan.
Pecintamu
***
Hiks! Terdengar isakan kecil dari Tari. Memang gadis penyuka susu coklat ini, lebih gampang mewek terbawa suasana dibanding Za, yang agak tomboy. Dipeluknya bantal guling yang sedari tadi tersandar di antara kedua remaja ABG tersebut dengan erat.
"Woi, bantal gulingku itu. Jangan kamu buat ngelap ingusmu ya! Baru kucuci kemarin," tegas Za sambil melotot ke arah Tari yang sudah memeluk bantal guling berwarna kuning telur itu erat. Tari yang tak peduli ancaman Za, terus menenggelamkan wajahnya di tengah-tengah keempukan bantal gulingnya Za.
Za dan Tari memang tak sekamar. Namun kedua remaja penggemar bola basket ini, sering menghabiskan waktu bersama. Bukan karena se-hobby saja, namun keduanya sudah seperti saudara.
"Ih, pelit amat sih, Za. Si Amat saja gak pelit kayak kamu," jawab Tari sekenanya.
"Biarin, weksss!" jawab Za menarik paksa guling dari cengkeraman pelukan Tari. "Aku jadi makin penasaran deh dengan sosok pria ini. Jika di jaman sekarang, memang ada orang yang sebegitu cintanya tanpa berani untuk mengungkapkan?" Ditatapnya wajah Tari yang juga sedang berpikir tentang hal serupa seperti apa yang Za pikirkan. Wajah mereka nampak serius. "Apakah jangan-jangan ---" Dihentikan kalimatnya sambil menatap lebih dalam ke kedua mata Tari.
Tari yang penakut, segera memajukan tempat duduk badannya lebih merapat pada Za. "Jangan-jangan apa, Za? Iihh, kamu jangan nakut-nakutin aku dong, Za!" tambah Tari sambil melingkarkan tangannya di lengan kanan Za.
"Ihh, dasar penakut kamu. Maksud aku itu ... jangan-jangan diary ini milik suami ibu kost, atau saudaranya. Tapi kan gak mungkin kita kasih tau ibu kost, yang ada kita dimarahi gara-gara kita udah gali-gali tanah di halaman belakang rumahnya tanpa ijin," ucap Za cemas.
"Apa kita baca diary ini sampai abis, Za? Supaya kita dapat ungkap tentang siapa sosok lelaki itu, dan dimana tempat tinggalnya?"
"Tumben ide kamu brilliant, Ta."
***
Dear Perempuanku,
Ini adalah lembar ke-99, itu artinya ... tinggal satu lembar lagi, aku dapat mengeja senja. Yang mampu kunikmati sebagai selimut malamku nanti yang panjang.
Perempuanku,
Aku berterima kasih kepadamu. Karenamu ... lilin kecil ini merasa punyai arti, meski sekadar menerangi ruang yang teramat sepi. Namun hadirmu, mampu memberi semangat luar biasa meski tanpa engkau sadari.
Perempuanku,
Engkau masih ingat, tentang bocah perempuan kecil yang mengantarkan setangkai mawar kepadamu? Iya ... aku yang menyuruhnya. Dan betapa bahagia jiwaku, tatkala ku tau ... engkau menyimpannya hingga kini. Meski engkau tak pernah tau, siapa pengantar bunga itu.
Perempuanku,
Dan maafkan aku! Esok lusa, aku tak dapat lagi melukis indahmu dalam diary usangku ini. Bukan kulelah, bukan! Karena bagaimana aku bisa lelah, jika engkau adalah sumber semangat hidupku?
Perempuanku,
Barangkali sampai di lembar ini, Tuhan mentakdirkanku untuk mengagumi, dan merindukanmu dalam hening. Dalam sendiri yang hanya ditemani kasihmu dalam angan. Semata. Tapi sungguh, aku bahagia.
Perempuanku,
Semoga engkau bahagia. Meski aku telah tiada, namun rasa yang terlukis namamu, takkan pernah tiada. Ia akan selalu abadi. Abadi. Tanpa harus engkau tau. Dan aku akan pergi dengan tenang. Pesanku, telah aku tinggalkan untukmu melalui Notaris dan pengacaraku.
Semoga manfaat!
Menantimu di pintu surga-Nya
;Pecintamu
***
Mata Za, dan Tari saling adu pandang. Glek! Keduanya bersamaan menelan ludah masing-masing. Nampak wajah kedua remaja ini berubah pucat. Segera Za menutup diary tersebut. Dan kembali keduanya saling menatap.
"Ja-jadi ---" Kalimat Tari terputus-putus.
Glek! Terdengar suara Za yang menelan kembali sisa ludah secara paksa ke tenggorokan.
Kriyek!
Bunyi pintu kamar Za yang dibuka dari luar. Aaaahhhh! Teriak kedua gadis yang masih belum ganti seragam itu bersamaan, sambil saling berpelukan. Tari mendekap erat tubuh Za sembari menutup kedua matanya. Sementara Za yang kaget akan polah Tari, ikut-ikutan teriak lalu mendekap tubuh Tari.
"Woi, pada ngapain sih teriak-teriak? Emang kalian pikir aku hantu apa? Udah hampir maghrib tau ... kagak ada yang mau mandi ya?" Kali ini teriakan bercampur kesal, keluar dari mulut Nia, teman se-kost sama Za dan Tari.
Menyadari kehadiran Nia, segera Za dan Tari melepas pelukan mereka dan menatap wajah temannya yang berdiri di tengah pintu itu dengan cengengesan.
"Hehehe. Abis kamu ngangetin sih," alasan Tari sambil membenarkan posisi duduknya.
Sepeninggal Nia dari kamar Za, kedua bocah ABG itu kembali melempar pandang. "Za, aku mandi bareng ama kamu, ya?" pinta Tari yang masih ketakutan.
"What? Enak aja. Kagak ada! Mandi sendiri-sendiri," jawab Za ketus. Kemudian Za bangkit dan mengambil handuk yang tergantung di hunger belakang pintu kamarnya, meninggalkan Tari yang masih tertegun dengan kisah yang habis dia baca dalam diary.
"Om, Mbah, Pakde ... jangan ganggu saya ya! Sumpah! Saya tadi gak sengaja baca kisahnya dalam diary, jangan marahi saya ya! Kalau mau marahi, itu tuh ... si Za aja, dia yang maksa buat baca. Suwer!" ucap Tari dengan gaya lugunya. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, ia angkat ke atas kepala sambil senyum memperlihatkan gigi kawatnya.
Aaahhhh!
Teriakan kembali terdengar dari dalam kamar mandi. Astaga! Bukankah Za lagi mandi? Jangan-jangan! Segera Tari berhambur keluar kamar dan menuju kamar mandi, dimana Za tengah berada di dalamnya.
Tok! Tok! Tok!
"Za, kamu gak pa-pa 'kan?" teriak Tari dari luar kamar mandi.
"Tolong!" jawab Za dari dalam kamar mandi.
"Bukain pintunya!" perintah Tari panik.
Akhirnya pintu kamar mandi terbuka, nampak Za tengah naik di atas bak air sambil memeluk gayung.
"Kamu kenapa, Za?" tanya Tari khawatir.
"A-ada kecoa," jawab Za polos.
"Uuuhh, dasar! Gaya aja yang sok tomboy. Tapi takutnya ama kecoa. Au ahh! Urus sendiri tuh kecoa," ucap Tari nyelonong pergi, yang merasa kesal dengan polah Za, sahabatnya.
Jember, 3 Agustus 2015
4 Komentar:
wah
Eh, Kak :)
Ada krisan?
Eh, Kak :)
Ada krisan?
Eh, Kak :)
Ada krisan?
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda