Kamis, 28 Januari 2016

cerbung 4

SI GADIS KAMBING
;part 4

Rintik-rintik hujan masih bersenandung menghias langit pagi. Suara gemericik airnya yang jatuh menempa atap rumah, seolah menjadi melodi penyenyak bagi mata-mata yang enggan terjaga.

Pagi yang cukup sepi. Jalanan yang basah, dengan beberapa genangan air yang memenuhi bagian-bagian berlubangnya. Kecoklatan. Keruh. Air bercampur lumpur. Ya, begitulah keadaan desa Zubaidah. Jalanan depan rumahnya masih berupa tanah. Aspal hanya di jalur khusus yang digunakan untuk menghubungkan satu desa ke desa lain. Dan itupun bukan keadaan jalan aspal yang mulus.

Gadis berlesung pipit itu segera bangkit dari posisinya--membantu sang ibu menyiapkan sarapan. "Bu, perutku mules. Ini...  Ibu terusin ya ngulek bumbunya!"

Tanpa menunggu jawaban dari sang ibu, Zubaidah sudah setengah berlari menuju ke toilet. Dan di saat yang bersamaan, tangannya bersentuhan dengan tangan Raka yang kebetulan pagi itu juga hendak ke kamar mandi--kamar mandi dan toilet satu ruang. Sontak Gadis yang sedang menahan sakit perutnya itu, menoleh. Segera menarik tangannya yang sempat hangat ketika kulit mereka saling bersentuhan. Cowok yang rambutnya masih acak-acakan itu pun melakukan hal yang sama. Kaget.

"Eh, gue duluan!" ucap Raka yang di bahu kirinya sudah menggantung handuk berwarna biru.

"Eh, enak aja. Orang aku duluan," sergah Zubaidah tak mau kalah. Wajahnya sudah bercampur aduk, antara sakit di perut dan sisa rona akibat persentuhan tangannya dengan Raka. Entah kenapa, seolah ada aliran listrik bertegangan tinggi yang tiba-tiba membuat jantungnya berdegup kencang.

"Please, gue dulu ya! Gue gak lama kok mandinya. Gue udah telat ini. Ada pertemuan di balai kampung," rengek cowok berhidung lebih itu pada Zubaidah. Namun belum sempat Zubaidah menjawab rengekan Raka, tiba-tiba, tuuutt! Tanpa pikir panjang, gadis berambut hitam itu..., menerjang tangan Raka. Masuk ke toilet dan mengunci pintunya.

Raka kian gusar, berkali-kali dia panggil Zubaidah yang sudah sekitar sepuluh menitan belum juga keluar. Sementara pagi ini ia ada pertemuan dengan Pak Khoirul. Huffft! Sial. Gumam Raka. Akhirnya ia pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Dua puluh menit berlalu. Zubaidah keluar dari toilet dengan wajah lega. Matanya berkeliling menyapu sekitar tempatnya. "Loh, kemana tuh cowok belagu?"

"Udah enakan, Nduk, perutnya?"

"Sampon, Bu. Oya, Bu. Itu tadi siapa, em..., cowok kota yang sok itu kemana?"

"Siapa maksudmu, Nduk? Raka?"

Ih, ngapain sih si ibu pakai hapal tuh nama cowok? Gumam Zubaidah kesal dalam hati. Zubaidah tersenyum tipis, mengangguk. "Njih, Bu."

"Kamu ndak boleh bicara begitu. Kan kamu udah tahu namanya to? Menurut ibu dia anaknya baik, sopan juga, Nduk."

"Sopan? Sopan dari Hong Kong. Aku tuh kesel banget sama dia, Bu. Kalau bukan gara-gara dia yang ugal-ugalan di jalan. Pasti anak embekku ndak mati. Kan itu jatahku, Bu." Gadis penyuka hujan itu memonyongkan bibirnya, memasang wajah kesal.

Ibunya Zubaidah hanya tersenyum menanggapi ucapan putrinya. "Soal itu dia sudah cerita semalam sama bapak dan ibu. Sekaligus minta maaf. Dia merasa menyesal karena akibat ulahnya, anak kambingmu mati."

"Kok dia ndak minta maaf ke aku sih, Bu?"

"Lagian embekmu itu kan sudah mati. Mau digimanain pun ya sudah mati. Ndak ada gunanya kamu mau marah atau apa sama Raka."

Hufftt! Zubaidah mendengus kesal. Bisa-bisanya ibu lebih membela cowok itu dari pada anaknya sendiri. Omel Zubaidah dalam hati.

Setelah selesai membantu sang ibu di dapur, gadis yang lebih suka menghabiskan waktu bersama kambing-kambing peliharaannya itu, mengintip ke kamarnya. Tepatnya kamar yang kini dihuni dua cowok asing yang sedang KKN di desanya. Pasti nasib kamarku sekarang udah lebih mirip kapal pecah. Tanpa sadar, tangan Zubaidah telah membuka pintu kamar yang tak terkunci itu. Kosong? Loh, kemana tuh cowok belagu itu? Bukannya tadi dia bilang mau mandi?

Kedua mata Zubaidah sempat melongo ketika ia telah tepat masuk ke dalam kamarnya. Bagaimana bisa? Di mana kapal pecah itu? Bukankah seharusnya kamar cowok sebelagu itu berantakan? Namun ini justru tidak. Pakaian menggantung rapi, beberapa buku yang berada di atas meja pun, tak terlihat acak-acakan. Dan bahkan selimut yang sempat ia berikan semalam untuk menyelimuti tidur kedua cowok itu, sudah terlipat rapi di atas ranjang.

Zubaidah melangkahkan kakinya mendekati meja. Ada sebuah buku yang menarik rasa penasarannya. Selama ini gadis penggemar warna ungu itu, memang hobby membaca. Hanya sayang, keinginannya untuk sekolah harus patah lantaran orang tuanya yang merasa tak sanggup untuk membiayai. 'Rembulan Tenggelam di Wajahmu' bibir Zubaidah bergerak-gerak membaca judul sampul tersebut. Rupanya Raka memiliki hobby yang sama dengannya--membaca.

Namun sial, saat belum sempat Zubaidah keluar dari kamar. Sebuah langkah tergesa sedang berjalan menuju ke tempatnya.

"Tunggu bentar, Bro. Gue ganti baju dulu ya!" Jelas itu suara Raka yang berbicara dengan temannya yang barangkali sedang menunggu di depan.

Glek! Zubaidah menelan ludah. Ia terperangkap di dalam kamarnya Raka. Ia bingung harus bersembunyi di mana. Tidak mungkin jika di saat semepet ini, dia tiba-tiba keluar begitu saja. Zubaidah memutar otak, mencari tempat sembunyi yang aman.  Dan pintu kamar pun terbuka.

Bersambung....

#Vee, Jan'2016

Minggu, 24 Januari 2016

hujan-hujan

HUJAN-HUJAN

"Apa yang kamu lihat dari hujan?"

Senja, rintik-rintik hujan kembali jatuh. Menempa daun dan rumput di halaman rumah, bergoyang-goyang. Aroma bau tanah basah--segar, menembus kaca jendela. Merogoh ingatan. Ada rindu, sesak memenuhi ruang-ruang pikiran. Perasaan.

Gadis itu hanya bergeming. Tatapan kedua matanya masih tertanam pada ribuan, jutaan, bahkan miliaran air langit yang menghujam bumi, tanpa jeda. Tangan kanannya menopang dagu. Mendesah.

"Kapan hujan akan berhenti?" Gadis itu bersuara, lirih. Tanpa menoleh, ekspresi datar.

"Bukankah kamu selalu suka hujan?"

Gadis berpipi bakpau itu kembali mendesah. Merubah posisi kepalanya, membelakangi kaca jendela--hujan. Menatap ke atas. Lampu neon 20 watt menggantung di tengah-tengah kamar berukuran 4x3 meter. Kekuningan, agak redup.

Suara gemericik di atap rumah, serupa melodi yang dimainkan secara bergantian. Tik! Tik! Tik! Bunyinya.

"Kapan hujan ini akan berhenti?" Gadis yang mengenakan kaos warna ungu dan celana jeans pensil itu, kembali mengulangi pertanyaannya. Tanpa menoleh.

Hening. Tak ada jawaban. Suasana senja masih dikuasai oleh suara jatuhnya air langit di atas genting.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Hujan masih bertahan. Hari semakin gelap. Dingin.

"Kapan hujan ini akan berhenti?" Kali ini gadis berambut coklat itu bangkit dari duduknya. Memutar badan, menghadap jendela. Lampu-lampu pinggir jalan--depan rumah, sudah mulai menyala. Rintik-rintik hujan pun yang jatuh tepat di bawah sinarnya, menciptakan keindahan yang tak asing di mata gadis penyuka hujan itu.

Tanpa menunggu lama, sepersekian menit. Tubuh gadis yang membiarkan rambut coklatnya tergerai sembarang itu, sudah berada tepat di bawah hujan--tiang lampu. Kepalanya menengadah. Memejam mata. Kedua tangannya membentang lebar. Satu, dua, sepuluh, seratus, seribu titik-titik air membasahi wajahnya, menembus rambut, pakaian, bahkan hatinya.

"Kapan hujan ini akan berhenti?" bisik gadis tersebut, lirih.

#Vee, Jan'2016







Jumat, 22 Januari 2016

cerpen

BADAI DALAM HUJAN
'Ketika kita harus rela melepas cinta demi kebahagiaannya yang sempurna'


Hujan kembali menghardik bumi. Sederas air matanya yang mengguyur di kedua pipinya. Wajah yang beberapa menit tadi nampak berseri-seri karena leluconku, seketika berubah ... kuyup dalam deras hujan yang keruh. Sungguh! Aku tak pernah berniat membuatnya semakin tenggelam dalam genangan luka, karenaku.

Ah, badai tadi ... benar-benar telah mampu memporandakan tegaknya. Ia gontai, sebelum akhirnya ambruk tepat di depanku.

"Apakah aku terlalu buruk untukmu?" tanyanya, sendu. Hatiku kian bergetar dahsyat.

"Tidak! Bahkan engkau terlalu sempurna untuk lelaki sepertiku." Suaraku kian berat.

Terasa ngilu seluruh persendian kalimatku, tatkala kedua mata yang sedari tadi lembab, kini mulai berembun lalu hujan deras. Angin di wajahnya yang semula sepoi, kini berubah menjadi topan yang telah melantakkan pertahanan di kedua mata beningnya.

"Lantas kenapa kau tak mampu memberiku kepastian akan kita?" Suaranya kian parau, menahan hantaman ombak yang bergulung-gulung pada ketegaran bathinnya.

"Kesempurnaanmulah yang membuatku harus mundur, dan rela melepaskanmu demi yang pantas untukmu!" Dadaku kembali sesak, serasa gemuruh kian bergejolak membakar jiwaku.

Aku mendesah. Berusaha mengatur nafasku tatkala sorot matanya tak lagi seteduh lalu.

"Tapi aku memilihmu!" Jeritnya membelah derasnya hujan yang beradu dengan sorot tatapannya yang menyerupa petir saling sambar di kegelapan.

Perasaan ini begitu rumit, aku pun kian terhuyung-huyung pada resah yang panjang.

Sejenak hening. Sesekali terdengar isak tangisnya yang menyerupa hantaman gelombang besar tepat memecah pada tepian karang bathinku.

Andai aku dapat bercerita tentang memar di sekujur badan ini padanya, barangkali tiupan badai pada jiwanya takkan sampai menghancurkan segala tegak dalam pertahanannya.

Tapi tidak! Kebahagiaannya jauh lebih penting dari seberapa pun luka yang kusandang. Ah! Otakku kian kacau, pikiranku kian melayang tak karuan.

Kupandangi lagi wajahnya yang kian sembab akan hujan di wajahnya. Badai itu perlahan mulai surut, meski rerintiknya masih terlihat jelas menggenang di sudut matanya.

"Harusnya kamu tahu, bahwa kesempurnaan yang aku miliki saat ini, karena kamu yang melengkapinya. Dan kesempurnaan ini akan hilang jika kamu berniat pergi dariku." Ah! Dadaku semakin sesak menahan gigil dari rintih perihnya yang mengguyur jiwaku.

"Kesempurnaan itu takkan hilang, Key. Karena akan terganti dengan kesempurnaan baru yang akan lebih mampu mengimbangimu." Barangkali aku adalah pria paling naif di muka bumi ini. Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk sekedar melindungi perempuanku dari amukan badai akibat ketidakberdayaanku sendiri?

Masih jelas teringat kejadian siang tadi, tiga orang preman suruhan keluarganya yang menghampiriku dengan hantaman tanpa kasihan. Dan ah, sialnya. Aku bahkan tak mampu mengelak dari setiap ludahannya atas kebodohanku.

Sebuah pistol bermata api itu siap menembus otakku, jika aku masih berhubungan dengan Keyla.

"Maafkan aku, Key. Seperti aku yang rela melepaskanmu demi kebahagiaanmu yang sempurna. Maka ikhlaskan aku, meski tanpa bahagianya cinta." Telah kuputuskan untuk berlalu pergi dari segala rasa yang tak seharusnya ada. Mungkin ini sebuah kebodohan, namun aku tak punya sebuah pilihan sekedar untuk mempertahankan cinta yang seharusnya kuselamatkan.

Matanya kian kuyup menatapku. Rintihnya pun semakin menenggelamkanku pada jurang keasaan. Pilunya memanggilku, kesedihannya mengulurkan tangan padaku. Bahkan di ketidakberdayaanku masih sempat ia memelukku erat dari balik punggungku.

Ah, aku semakin tak berdaya. Ronta tangisnya kian menjadi kala aku membalas dekapannya. Lalu beberapa detik kemudian, badannya layu dan roboh pasrah di depanku.

Perempuanku pingsan. Kuamati paras sendunya, nampak begitu besar kegelisahan yang dirasakannya. Dadaku kian berontak. Kukecup perlahan keningnya yang terbasah oleh amukan badai dalam hujan malam ini. Dingin. Seluruh badannya begitu dingin.

'Perempuanku, ketahuilah. Tak ada satu perempuan yang mampu menjadi dirimu. Saat duniaku dipenuhi oleh tawamu, oleh senyummu, oleh candamu, bahkan oleh air mata dan kesedihanmu. Namun kali ini aku rela, badai kehidupan nyata berhasil melantakkan tegak atas cintaku padamu. Tidurlah perempuanku, memeluk mimpi terindah dalam malammu. Dan bangunlah esok, ketika aku takkan mungkin kau temui'

Jember, 26 Maret 2015




cermin

SESUATU YANG DIPERJUANGKAN

Plak! Gamparan keras mendarat di pipi kananku. Aku mengaduh, merintih. Tak sampai di situ saja, dengan gerakan super patas..., cengkeraman tangannya mampu membuat tubuhku terpental. Tak ayal, badan mungil dan imutku terpelanting tepat di bawah tiang jemuran, setelah ia melepas begitu saja genggamannya. Sekali lagi aku mengaduh, meringis.

"Hei, apa kamu sudah gila?!" umpatku, mengelus-elus kepala, efek terbentur tiang jemuran. Semoga benturan ini tak membuatku amnesia.

"Kamu yang gila!" bentaknya, melotot, napas tersengal.

"Kamu hampir saja membunuhku!" protesku tak kalah melotot, sambil terus mengelus-elus kepala.

"Harusnya kamu berterima kasih padaku, karena telah menyelamatkanmu." Napasnya sudah mulai normal, namun matanya masih saja melotot menatapku.

"Emang kamu pikir aku mau ngapain?" Aku mulai memperbaiki posisi dudukku, untungnya kepalaku tidak benjol parah.

"Memang apa lagi yang mau dilakukan seseorang di atas lantai dengan sebagian badan menjuntai ke bawah?" Kali ini matanya sudah tidak semelotot tadi, tapi tetap saja..., pandangan mengintrogasinya aku kurang suka.

"Kamu pikir aku mau bunuh diri?" Aku bangkit, menghampiri posisinya, berdiri menyandar pada dinding setinggi dada orang dewasa.

"Apa lagi?" Dia memutar badan, melempar pandangan pada lalu lalang bocah-bocah yang berlarian di jalan bawah sana.

Saat ini, kami--aku, dan Dhedi, sedang berada di tingkat paling atas rumah sewa kami. Rumah yang sudah kami huni satu tahun terakhir ini. Bukan rumah yang mewah untuk pasangan baru, namun bukan mewah yang kami cari. Kami sama-sama pecinta rembulan. Dan di tempat ini, kami bisa setiap malam duduk berdua di lantai paling atas, tanpa atap ini, untuk memandang rembulan yang menggantung indah di langit.

"Ck!" jawabku singkat, mengikuti arah pandangannya menyapu jalanan depan rumah sewa kami.

"Aku minta maaf, jika semalam sudah membuatmu kecewa. Tapi kamu gak harus melakukan semua ini juga. Aku sayang sama kamu, Nduk!" Dia menoleh padaku, tersenyum. Tangan kanannya meraih tanganku, menggenggam. "Jangan pernah melakukan hal ini lagi ya!"

Aku mengernyitkan dahi, tersenyum. "Jadi kamu pikir aku begituan tadi mau bunuh diri?"

Dia mengangguk pelan.

Aku tertawa kecil, membalas genggaman tangannya. "Sayang, aku menjuntai tadi itu bukan mau bunuh diri. Aku belum gila untuk membiarkanmu mencari penggantiku. Namun aku sedang memperjuangkan sesuatu barang berharga yang kumiliki."

Keningnya terlipat saat mendengar penjelasanku, menatapku bingung. "Apa itu, Nduk?"

Aku menarik tangannya, menunjuk sesuatu yang terjatuh kemarin sore saat aku mengangkat jemuran. Posisinya masih tercantol kawat di lantai bawah. Sesaat, matanya melongo saat melihat barang itu. Menoleh padaku, meringis.

"Itu?" ujarnya kemudian.

"Hu'um." Aku mengangguk pelan, tersenyum malu.

Akhirnya, dengan bantuan sebatang tongkat golf miliknya, dan agak lebih berani menjuntai, barang yang kuperjuangkan itu dapat kembali ke tanganku.

"Lain kali, hati-hati saat menjemurnya ya! Kadang angin suka mencuri yang segitiga-segitiga begini," ucapnya menggoda, sambil memencet hidungku yang minimalis.

Aku mengaduh, meringis. "Itu kan kado ulang tahun darimu tahun lalu, Sayang!"


#Vee, Des'2015

cerbung 3

SI GADIS KAMBING
;part 3

Hujan yang turun ba'dha ashar itu, seakan menjadi melodi kesedihan bagi Zubaidah. Ia merasa bersalah, karena tak dapat menyelamatkan nyawa anak kambingnya yang mati setelah tertabrak motor. Untung sang bapak tidak begitu memarahinya, hanya menasihati agar lebih berhati-hati saat angon kambing. Tapi tetap saja, gadis yang menyadarkan tubuhnya di salah satu sisi dinding kamarnya itu, bersedih. Bagaimana tidak? Anak kambing yang mati itu baru berumur dua mingguan, ibarat bayi manusia sedang lucu-lucunya. Lalu harus mati begitu saja. Zubaidah mendesah pelan.

Selesai shalat maghrib, Zubaidah melempar tubuhnya di atas ranjang tempat tidur. Tengkurap. Ingatan gadis itu kembali pada kejadian sore tadi. Menghela napas. Tiba-tiba wajah sedihnya berubah, kesal. Ngedumel dalam hati. Ini semua gara-gara cowok belagu itu, awas kalau ketemu. Mau kujambakin itu rambutnya.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikum salam!"

Terdengar ada tamu yang datang, namun segera dijawab oleh ibunya Zubaidah. Ah, Zubaidah kenal betul itu suara siapa. Siapa lagi kalau bukan Pak Khoirul--pak kampung, yang sudah pasti ada perlu sama bapak, RT-nya. Zubaidah cuek, kembali menenggelamkan kepalanya di atas bantal.

"Nduk, tolong kamu panggil bapak gih! Ada pak kampung yang nyari," pinta ibu yang sudah masuk ke kamar Zubaidah.

"Bapak di mana, Bu?"

"Coba cari ke rumahnya Mbok Nem, tadi Mbok Nem ke sini minta bantu pasangin lampu soalnya."

Begitulah bapak, hal sekecil apapun akan dilakukan untuk membantu tetangganya. Selain karena beliau adalah ketua RT.

"Njih, Bu."

Namun tiba-tiba mata gadis penyayang binatang itu membulat, menyerupai purnama tanpa tertutup awan. Langkahnya seketika terhenti, tepat di saat tangan kanannya hendak menyalami tamu kedua setelah bersalaman dengan Pak Khoirul. Kedua alisnya menyatu, tiba-tiba kejadian sore tadi serupa hujan yang tumpah begitu saja di dalam ingatannya. Dengan gerakan kaku bercampur kesal, Zubaidah menyalami pemuda-pemuda itu satu persatu. Lalu pamit undur diri pada Pak Khoirul untuk memanggil bapak.

Selama di perjalanan Zubaidah berpikir keras, tentang siapa dan maksud kedatangan cowok yang telah merenggut nyawa anak kambingnya. Apakah mereka datang ke rumahnya karena sengaja untuk minta maaf? Tapi bukankah tadi sore dia sok banget? Huufftt! Zubaidah mendengus kesal.

Zubaidah berjalan di belakang bapaknya. Setelah menyampaikan kedatangan Pak Khoirul, sang bapak langsung pamit pulang. Sesampai di rumah, Zubaidah mencuri pembicaraan antara bapaknya dan pak kampung di belakang bofet ruang tamu. Lagi-lagi matanya membulat, melongo, setelah tahu siapa dan apa maksud kedatangan para cowok-cowok tak bertanggungjawab itu ke rumahnya.

Zubaidah menelan ludah. Tak percaya. Ah, bagaimana mungkin aku bakal tinggal ama cowok rese yang telah mengakibatkan anak kambingku mati?

Pak Khoirul sudah pamit pulang beberapa menit yang lalu. Tak lama setelah itu, terdengar suara bapak memanggil Zubaidah. Dengan perasaan bercampur aduk, gadis itu keluar menemui bapak dan dua cowok yang masih duduk di tempat semula. Sedang dua cowok lainnya ikut bersama perginya Pak Khoirul. Mata Zubaidah tertuju pada satu cowok yang masih menyisakan kekesalan di hatinya--cowok berambut sebahu yang menoleh ke arahnya sedikit canggung.

"Tapi, Pak. Kenapa harus di kamarku sih? Kan bisa aja suruh mereka tidur di kandang kambing," gerutu Zubaidah setelah mendengar penjelasan dan perkenalan tentang cowok-cowok itu.

Kedua cowok yang mendengar jawaban Zubaidah saling lempar pandang, menelan ludah.

"Eh, kok di kandang kambing to. Ndak sopan itu namanya. Mereka ini kan sedang KKN di sini, dan mereka juga tamu kita. Jadi apa salahnya kamu mengalah, kan bisa tidur sama ibumu to?"

Bagaimana mungkin Zubaidah harus berbagi kamar dengan orang yang mengakibatkan kambingnya mati? Tapi bapak benar, ndak sopan. Masa nyuruh tamu tidur di kandang?

Akhirnya Zubaidah mengalah, demi bapak. Ia membereskan kamarnya untuk ditempati cowok nyebelin yang baru diketahui bernama Raka, dan temannya Udin.

Bisakah Zubaidah berdamai dengan Raka?

Bersambung...

#Vee, 23 Jan'2016

cerbung 2

SI GADIS KAMBING
;part 2

Hari tiba-tiba mendung, biru yang sedari tadi membungkus langit pun berubah. Kedua bocah yang bermain di aliran sungai kecil dekat Zubaidah angon kambingnya--Saka dan Ike, sudah pamit pulang terlebih dulu.

Tanpa menunggu lama, Gadis berlesung pipit itu segera bangkit dan menarik dua induk kambing dengan tali ikat yang dia bawa. Dengan sendirinya, dua pejantan dan tiga balita kambing akan mengikuti dari belakang. Jarak rumah Zubaidah dengan sawah tempatnya angon kambing tidaklah terlalu jauh. Namun jika tidak buru-buru, dia khawatir jika hujan akan turun sebelum ia sempat sampai di rumah.

Namun saat menyeberang jalan, karena Zubaidah sedang sibuk mengatur satu anak kambingnya yang baru beberapa hari lalu lahir--berlari-lari sembarangan, ia tak sempat melihat pada arah yang berlawanan, ada dua sepeda motor yang dikendarai cukup kencang. Alhasil, kambing kecil Zubaidah yang tengah lalai dari pengawasan matanya terserempet salah satu motor tersebut.

Embekk! Embekk! Embekk!
Rintih anak kambing yang terpelanting ke tepi jalan. Sontak Zubaidah kaget, antara panik dan bingung. Sementara kambing-kambing lainnya tidak kalah panik dengan wajah Zubaidah. Segera gadis itu mengikat beberapa kambing lainnya di salah satu pohon waru yang ada di sekitar tempat kejadian. Berlari menuju anak kambingnya yang terluka. Membopong kambing tersebut, kemudian menoleh pada si pelaku tabrak kambingnya yang sesaat setelah sadar menabrak kambing, langsung berhenti.

"Eh, sorry. Gue kagak sengaja. Tuh kambing kagak mati kan? Lagian ngapain sih, ada kambing di jalanan gini?" ucap si pelaku penabrak kambing Zubaidah tanpa merasa bersalah.

Zubaidah yang sudah mangkel, melotot ke arah si pembicara tersebut--seorang laki-laki yang memakai helm. Sambil masih membopong kambingnya, Zubaidah mulai bicara bernada kesal. "Eh, kamu tuh yang seharusnya pelan-pelan. Sudah tahu ini jalanan kampung, masih aja ngebut."

Si penabrak yang merasa tidak terima disalahkan pun mulai turun dari motor, membuka helm berkaca hitam yang menutupi wajah dan kepalanya.

Sepersekian detik kemudian, mata Zubaidah melongo saat helm berwarna hitam itu sempurna terbuka. Bagaimana mungkin ada wajah setampan ini? Wajah oval, hidung mancung, sepasang mata yang tajam, serta rambut sebahu yang bagian ujungnya bergerak-gerak dipermainkan angin. Gadis kampung itu menelan ludah, berusaha sadar akan kekesalannya.

"Apa lu bilang? Lu nyalahin gue? Eh, makanya punya kambing itu dijaga, bukan malah dibiarin main di tengah jalan," bela pemuda itu tak mau kalah.

Embek! Embek! Embek!
Terdengar lagi erangan dari si kambing korban. Zubaidah mengalihkan pandangan kesal dan kagumnya atas pemuda itu ke arah si kambing. Anak kambingnya harus segera dibawa pulang untuk memperoleh pertolongan pertama, pikir Zubaidah. Akhirnya ia pun mengalah menelan kata-kata amarahnya pada pemuda itu. Dan segera bergegas berlari pulang. Ia sengaja meninggalkan beberapa kambing yang telah ia ikat di pohon waru untuk nanti sekembalinya dari rumah, akan dijemputnya. Toh, di sini cukup aman.

Pemuda penabrak dan ketiga temannya hanya terdiam saling pandang, saat akhirnya punggung gadis berkepang dua itu menghilang di balik rumah warga. Keempat pemuda itu kembali menghidupkan sepeda motor dan meneruskan perjalanan mereka.

Namun sesuatu yang tak terduga kembali mempertemukan Zubaidah dengan pemuda yang telah menabrak anak kambingnya, yang sesampai di rumah tak dapat diselamatkan.

Bersambung....

#Vee, Jan'2016

cerbung

SI GADIS KAMBING
;part 1

"Sekarang kalian bebas. Silahkan isi gentong kalian sekenyang-kenyangnya, aku mau ngiyup dulu ya. Awas, jangan berisik!" Zubaidah, gadis desa berumur tujuh belas tahun itu melepaskan ikatan kambing-kambingnya pada sebuah hamparan sawah yang sudah selesai dipanen. Batang-batang padi setinggi tumit bekas dipotong/dipanen, masih menghiasi tanah persawahan tersebut.

"Embeekk!" Suara-suara kambing sambil berlarian.

Inilah aktivitas Zubaidah setiap hari. Angon kambing. Gadis berkepang dua itu, menyadarkan tubuhnya di bawah pohon nangka yang ada di pinggir sawah--sebuah karangan kosong untuk berteduh, sambil mengawasi polah-polah anak buahnya yang berjumlah tujuh ekor; empat kambing dewasa, dan lagi tiga kambing balita.

Udara siang itu cukup panas, berkali-kali Zubaidah mengipas-ngipaskan topinya untuk mengurangi gerah di sekujur badannya. Langit yang indah. Biru. Dengan beberapa awan putih bersih yang menghiasi hamparan luasnya.

Wushhh! Angin berhembus sepoi.

Dari seberang jalan, mata gadis penurut itu menangkap sesuatu. Pemandangan yang selama ini begitu ia inginkan. Namun apa daya, semua harapan dan mimpinya hanya sebatas angan belaka. Zubaidah Mendesah.

"Pak, aku pingin sekolah." Dengan tatapan ragu, gadis berkepang dua itu mendekat pada duduk bapaknya, di atas kursi bambu yang berada di belakang rumah.

Tanpa menoleh, lelaki paruh baya yang sedang dengan nyamannya menikmati sebatang rokok hasil lintingan sendiri, menjawab tenang, "Nyapo kok pingin sekolah lagi? Perempuan itu ujung-ujungnya di dapur, lagian tugas wong wadon iku kan cuma tiga; masak, macak, manak."

"Tapi, Pak. Teman-temanku semua pada sekolah. Terus kalau ndak sekolah, aku mau ngapain? Kawin?" Gadis itu membuang pandangannya ke arah jalanan, mendengus kesal.

"Lah kok ngapain, itu siapa yang mau ngurus?" ucap sang bapak sambil menunjuk ke arah kandang.

Gadis itu menoleh, menghela napas. "Mosok aku suruh angon kambing, Pak?"

"Bapak kuwalahan kalau ngurus semua, Nduk. Kan kamu anak bapak satu-satunya. Lagian kamu itu mbokyo sadar, bapak ini cuma buruh tani. Uang dari mana untuk biaya sekolahmu. Lebih baik kamu bantu bapak urus kambing saja. Makmu juga sering sakit-sakitan. Belum lagi buat beli obat dan periksa."

Zubaidah menelan ludah. Benar kata bapak, dari mana biaya untuk sekolahku nanti? Sedang mak sering kambuh sakitnya. Gadis itu terdiam.

"Lihat itu si Lely anaknya Pak Lurah, dia dulu sekolah tinggi. Bahkan sampai kulayah, eh..., opo iku jenenge?" kata bapak menoleh pada anak gadisnya.

"Kuliah, Pak!" jawab Zubaidah lemas.

"Iyo, kuliah. Tapi bapak ndak pernah lihat dia kerja, di rumah terus. Sampai akhirnya dikawinkan, dan sekarang ngurus anak juga to?"

Zubaidah menundukkan kepala. Terdiam. Membiarkan kambing-kambing di kandang saling bersahutan, seakan mereka begitu menginginkan Zubaidah untuk menjadi pengganti baby sitter mereka. Menghela napas.

"Maafkan bapak ya, Nduk. Karena bapak belum mampu mewujudkan impianmu. Orang tua mana yang tak menginginkan anaknya bahagia, pintar, namun...." Bapak menghentikan kalimatnya, menatap lamat-lamat wajah Zubaidah yang masih tertunduk. "Semoga kamu ndak gelo sama bapak, Nduk."

Zubaidah mengangkat wajah, tersenyum getir. "Ndak, Pak. Zu paham."

Angin yang berhembus semilir menjatuhkan anak rambut Zubaidah menutupi mata. Satu bulir bening hinggap di kedua pipinya. Masih saja sama, meski sudah hampir dua tahun Zubaidah berusaha mengubur dalam-dalam keinginan sekolahnya, ketika mengingat semua itu..., hatinya merintih. Terlebih jika melihat teman-temannya berangkat sekolah mengenakan seragam putih abu-abu, menjinjing buku pelajaran..., air mata akan tanpa permisi meludahi wajahnya.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dari seberang tempat Zubaidah menyandarkan tubuhnya. Gadis itu celingukan. Bangkit. Dua bocah kecil--laki-laki dan perempuan, tengah asyik bermain air di sungai kecil tak jauh dari para kambing-kambing Zubaidah diangon. Gadis itu mendekat.

"Loh, kalian ngapain?"

Kedua bocah itu menghentikan aksi tawanya. Menoleh ke arah Zubaidah. Saling pandang satu sama lain. "Main, Mbak!" jawab salah satu dari mereka.

"Loh, udah pulang sekolah ta?" tanya Zubaidah lagi.

Kedua bocah itu saling pandang lagi. "Sudah!" jawab mereka bersamaan. "Mbak ngapain?"

"Tuh!" jawan Zubaidah sambil menunjuk kambing-kambingnya diikuti oleh gerakan mata kedua bocah yang separuh badannya sudah basah terendam air sungai.

"Mbak, angon kambing ya?"

Zubaidah mengangguk.

Kehadiran dua bocah tersebut cukup menjadi penghibur untuk Zubaidah. Tak sulit bagi gadis berkepang dua itu untuk bisa cepat akrab dengan anak-anak. Zubaidah dikenal gadis yang ceria, jarang melihatnya bersedih. Ia selalu dapat menyembunyikan semuanya dengan senyum, dengan canda, meski dalam hatinya tak ada satu orang pun yang tahu.

Hingga pada suatu hari, ketika sepulang dari angon kambing-kambingnya. Di tengah jalan, sebuah kecelakaan kecil telah membawa perubahan dalam kehidupan Zubaidah. Tentang harapan, mimpi, juga cinta.

Bersambung....

#Vee, 20 Jan'2016