WANITA-WANITA
'Jangan pernah membandingkan orang yang mencintaimu dengan masa lalumu. Hargai dia yang kini berusaha membuatmu bahagia'
***
Apakah aku seorang lelaki yang tolol, yang begitu sulit melepaskan diri dari jeratan masa lalu? Harusnya kini aku bahagia, bukankah ada Nurul yang dengan setia menemaniku? Apalah arti masa lalu, serupa waktu yang tak mungkin akan kembali seperti dulu, selain hanya kenangan dan kepedihan yang kualami. Tapi? Ahhh....
Dilempar semua barang yang berada di atas meja kerjanya. Tangannya mengepal, lalu ia arahkan kepalan itu di salah satu sudut dinding ruangannya. Berulang-ulang. Darah segar pun mulai menetes. Pandangannya kosong. Hanya sesekali deru napasnya yang tersengal menahan sesuatu. Amarah.
***
"Maafin aku, Mas Pras. Kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini, aku sudah menemukan seseorang yang lebih bisa mengerti aku. Semoga Mas Pras bisa mendapatkan gadis lain yang lebih baik dari aku, dan terima kasih untuk semuanya."
"Maksud kamu apa, Dik? Mas gak ngerti," jawab Pras berusaha mencerna kata-kata Arini, kekasihnya.
"Mas, mungkin sulit untuk Mas menerima semua ini. Aku sadar, 4 tahun bukan waktu yang sebentar dalam menjalani sebuah hubungan. Tapi apakah tentang hati bisa dipaksa, sementara kini aku sudah tak punyai perasaan apa-apa sama Mas?" Air mata Arini tertahan, ia berusaha untuk tak menjatuhkannya dan terlihat oleh Pras.
"Dik, kamu sadar kan dengan kata-katamu?" Pras seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar dari mulut wanita yang begitu ia cintai.
"Demi Allah aku sadar, Mas. Kedatanganku kemari hanya untuk mengantarkan ini." Arini mengulurkan sebuah amplop berwarna ungu muda, undangan pernikahan.
***
"Ya Allah, Mas. Apa yang terjadi padamu?" Suara Nurul nampak cemas, segera ia berlari mengambil kotak obat yang terletak tak jauh dari ruangan Pras. Dengan hati-hati, Nurul mulai mengobati luka di tangan Pras.
"Kenapa kamu peduli padaku?" lirih suara Pras.
Nurul tak menjawab pertanyaan Pras, pertanyaan yang Nurul anggap konyol untuk dipertanyakan. Kedua tangannya masih dengan lembut membalut luka di tangan kanan Pras, dengan perban setelah luka itu ia semprotkan obat antibiotik.
"Jawab aku!" Suara Pras hampir saja menjatuhkan sisa gulungan perban di tangan Nurul.
"Dan harus berapa kali aku menjawab pertanyaan yang sama itu, dengan jawaban yang pernah kau dengar sebelumnya agar engkau merasa puas, Mas?" Nurul berusaha tenang menjawab Pras. Nurul tahu benar dalam keadaan seperti apa Pras saat ini. Bukan waktu yang tepat untuk saling berargumentasi yang hanya akan menjadikan keadaan semakin tak menemukan jalan keluar.
***
"Mas, aku sadar. Aku bukan wanita yang sempurna untuk bisa engkau banggakan. Atau sekadar engkau ceritakan kepada teman-temanmu tentang betapa cantik dan hebatnya kekasihmu. Bukan Mas. Aku hanya seorang wanita biasa, bahkan lihatlah! Wajahku begitu jauh dari arti kata cantik, kulitku juga tak seputih mantan kekasihmu yang selalu engkau bangga-banggakan di depanku. Aku juga tak memiliki postur badan yang tinggi, yang mampu membuatmu merasa tidak malu ketika membawaku di depan keluargamu. Tapi aku juga punya hati, Mas. Apa Mas pikir aku tak sakit, setiap kali Mas membanding-bandingkan aku dengan wanita yang pernah Mas cintai? Mas, wanita tidak untuk dibandingkan, wanita ingin menjadi bagian yang berbeda dari apa yang sebelumnya pernah ada.
Dan Mas salah, jika menganggap diamku selama ini karena aku bodoh. Tidak Mas! Aku diam hanya untuk melihat, sampai sejauh mana Mas bisa mengerti dan memahami... betapa wanita jelek ini begitu memiliki cinta yang tulus padamu. Namun rupanya, hatimu telah terpenjara masa lalu, dan bukan karena engkau sulit mengeluarkan diri dari masa lalu itu... namun dengan kesadaran diri, Mas merelakan hati dan jiwa Mas tetap terkurung di sana. Kini aku sudah merasa lelah Mas, maafkan aku! Aku takkan menginjakkan diriku lagi di wilayah yang bukan hakku. Namun kita tetap rekan kerja kok." Nurul menyeka air mata di kedua pipinya. Memang benar, mencintai tanpa dicintai... bahkan dianggap tak ada, sakit.
***
"Kenapa kamu masih peduli padaku? Kenapa? Kenapa?" Suara Pras mulai melemah. "Harusnya kamu benci padaku, Nurul. Harusnya kamu tak mau lagi peduli dengan keadaanku. Aku terlalu sering membuatmu sakit, bahkan aku tak pantas untuk mendapatkan sedikitpun kebaikan darimu. Ucapanmu kala itu membuatku sadar, cinta tak membutuhkan apa yang sempurna, namun cinta dapat menciptakan kesempurnaan yang sempurna. Bukan pada fisik juga apa yang terlihat oleh mata, namun hati.
Aku bodoh, Nurul. Aku bodoh! Ketidakkuasaanku menerima kenyataan, bahwa wanita yang selama ini kucintai lebih memilih orang lain, membuat hatiku buta pada kesempurnaan lain yang jauh lebih berharga. Aku ingin marah pada diriku sendiri, kenapa aku setolol ini. Nurul...." Pras menatap kedua mata Nurul yang duduk di sebelahnya. "Jika kamu mau memberiku kesempatan kedua, ajari aku... ajari aku untuk mencintaimu sepenuh hati." Kedua tangan Pras berusaha meraih tangan Nurul, namun dengan cepat... Nurul mengelak.
"Mas, kenapa Tuhan memberikan penyesalan itu di belakang? Terkadang Tuhan ingin memberi kita waktu untuk merenungi apa yang telah terjadi, agar setiap kesalahan yang pernah ada di depan... tak terulang lagi. Dan aku tak pernah mematahkan kesempatan itu ada atau tidak, karena tentang jodoh... sepenuhnya kekuasaan Tuhan. Hanya saja, hari ini adalah hari terakhirku bekerja di kantor ini. Bapak ibuku di kampung memintaku untuk pulang, dan aku tak tahu alasan apa yang membuat mereka untuk memintaku berhenti kerja.
Pesanku, lebih bijaklah dalam menghargai orang baru, wanita khususnya. Karena setiap hati tak sama, namun yang jelas... wanita tak suka jika dijadikan bahan perbandingan dengan wanita lain. Karena setiap wanita, memiliki keistimewaan yang berbeda. Semoga kelak kita dapat bertemu kembali dengan hati yang bahagia. Aku pamit, Mas."
***
"Assalamualaikum!"
Nurul kaget melihat wajah yang tak asing baginya, sedang berdiri tepat di depan pintu. "Waalaikum salam," jawab Nurul pelan. "Mas Pras?"
"Apa kabar, Nurul?"
"Begitulah kisahku, Mas. Kini aku hanya seorang janda, yang selalu menjadi cibiran tetangga perebut suami orang."
***
"Pokoknya kamu harus nikah sama Pak Handoko. Titik!" bentak bapak Nurul malam itu.
"Tapi Pak, kita belum tahu siapa Pak Handoko itu? Dan bahkan Pak Handoko seumuran Bapak." Percuma saja berdebat dengan bapak, ujung-ujungnya Nurul harus mengikuti perintah bapaknya.
Pernikahan pun berlangsung. Namun satu minggu setelah hari pernikahan Nurul dengan Pak Handoko... datang seorang wanita yang tiba-tiba menampar dan mencaci Nurul.
"Dasar wanita edan. Sudah gak laku ya, sampai harus merebut suami orang? Handoko itu suami saya, dasar wanita gak tahu diri!"
***
Pras seperti kehilangan Nurul yang selama ini ia kenal, yang selalu memberinya semangat juga penuh kesabaran. Yang mampu membuat Pras sadar akan keterpurukan masa lalu. Bahkan membuat Pras merasa begitu berharganya Nurul di hati Pras.
"Pasti sekarang hidup Mas bahagia. Bersama wanita yang dapat mengerti dan menerima Mas apa adanya." Nurul berusaha tersenyum di depan Pras. Ia tak ingin menunjukkan kelemahannya atas kehidupan yang membuat Nurul merasa terpuruk.
"Ya, aku bahagia. Dan akan selamanya bahagia jika aku dapat memiliki wanita sesempurna kamu."
Mata Nurul terbelalak mendengar ucapan Pras. Apa aku tak salah dengar? Apa maksud ucapan Mas Pras? "A-aku...."
"Maukah engkau menikah denganku? Menjadi satu-satunya wanita yang mencintaiku dengan sempurna? Wanita yang dengan sabar membungkus lukaku. Wanita yang sabar dengan segala keegoisan dan kekuranganku. Dan maukah engkau menjadi satu-satunya wanita hingga masa tuaku?"
Nurul menangis, seakan tak percaya dengan semua yang ia dengar dari mulut Pras.
"Aku janda, Mas. Aku pernah menjadi bekas orang, aku---"
"Dik, bukankah cinta yang sempurna itu ialah cinta yang dapat menyempurnakan ketidaksempurnaan? Dan kamu, adalah satu-satunya wanita sempurna yang mampu menyempurnakan cinta dalam hidupku. Apakah kamu masih tak percaya bahwa aku sudah bisa melupakan masa lalu? Aku akan gila, dan akan benar-benar gila... jika aku akan kehilanganmu untuk yang kedua kalinya. Jadi?" Mata Pras menggoda wajah Nurul yang sudah dipenuhi air mata. "Kamu jelek tahu, Dik, kalau lagi nangis gitu. Hidungmu makin gak kelihatan."
Nurul menghamburkan diri di pelukan Pras. "Apa masih mau menikah dengan wanita tak berhidung?"
Jember, 8 Agustus 2015
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda