Jumat, 22 Januari 2016

cerbung

SI GADIS KAMBING
;part 1

"Sekarang kalian bebas. Silahkan isi gentong kalian sekenyang-kenyangnya, aku mau ngiyup dulu ya. Awas, jangan berisik!" Zubaidah, gadis desa berumur tujuh belas tahun itu melepaskan ikatan kambing-kambingnya pada sebuah hamparan sawah yang sudah selesai dipanen. Batang-batang padi setinggi tumit bekas dipotong/dipanen, masih menghiasi tanah persawahan tersebut.

"Embeekk!" Suara-suara kambing sambil berlarian.

Inilah aktivitas Zubaidah setiap hari. Angon kambing. Gadis berkepang dua itu, menyadarkan tubuhnya di bawah pohon nangka yang ada di pinggir sawah--sebuah karangan kosong untuk berteduh, sambil mengawasi polah-polah anak buahnya yang berjumlah tujuh ekor; empat kambing dewasa, dan lagi tiga kambing balita.

Udara siang itu cukup panas, berkali-kali Zubaidah mengipas-ngipaskan topinya untuk mengurangi gerah di sekujur badannya. Langit yang indah. Biru. Dengan beberapa awan putih bersih yang menghiasi hamparan luasnya.

Wushhh! Angin berhembus sepoi.

Dari seberang jalan, mata gadis penurut itu menangkap sesuatu. Pemandangan yang selama ini begitu ia inginkan. Namun apa daya, semua harapan dan mimpinya hanya sebatas angan belaka. Zubaidah Mendesah.

"Pak, aku pingin sekolah." Dengan tatapan ragu, gadis berkepang dua itu mendekat pada duduk bapaknya, di atas kursi bambu yang berada di belakang rumah.

Tanpa menoleh, lelaki paruh baya yang sedang dengan nyamannya menikmati sebatang rokok hasil lintingan sendiri, menjawab tenang, "Nyapo kok pingin sekolah lagi? Perempuan itu ujung-ujungnya di dapur, lagian tugas wong wadon iku kan cuma tiga; masak, macak, manak."

"Tapi, Pak. Teman-temanku semua pada sekolah. Terus kalau ndak sekolah, aku mau ngapain? Kawin?" Gadis itu membuang pandangannya ke arah jalanan, mendengus kesal.

"Lah kok ngapain, itu siapa yang mau ngurus?" ucap sang bapak sambil menunjuk ke arah kandang.

Gadis itu menoleh, menghela napas. "Mosok aku suruh angon kambing, Pak?"

"Bapak kuwalahan kalau ngurus semua, Nduk. Kan kamu anak bapak satu-satunya. Lagian kamu itu mbokyo sadar, bapak ini cuma buruh tani. Uang dari mana untuk biaya sekolahmu. Lebih baik kamu bantu bapak urus kambing saja. Makmu juga sering sakit-sakitan. Belum lagi buat beli obat dan periksa."

Zubaidah menelan ludah. Benar kata bapak, dari mana biaya untuk sekolahku nanti? Sedang mak sering kambuh sakitnya. Gadis itu terdiam.

"Lihat itu si Lely anaknya Pak Lurah, dia dulu sekolah tinggi. Bahkan sampai kulayah, eh..., opo iku jenenge?" kata bapak menoleh pada anak gadisnya.

"Kuliah, Pak!" jawab Zubaidah lemas.

"Iyo, kuliah. Tapi bapak ndak pernah lihat dia kerja, di rumah terus. Sampai akhirnya dikawinkan, dan sekarang ngurus anak juga to?"

Zubaidah menundukkan kepala. Terdiam. Membiarkan kambing-kambing di kandang saling bersahutan, seakan mereka begitu menginginkan Zubaidah untuk menjadi pengganti baby sitter mereka. Menghela napas.

"Maafkan bapak ya, Nduk. Karena bapak belum mampu mewujudkan impianmu. Orang tua mana yang tak menginginkan anaknya bahagia, pintar, namun...." Bapak menghentikan kalimatnya, menatap lamat-lamat wajah Zubaidah yang masih tertunduk. "Semoga kamu ndak gelo sama bapak, Nduk."

Zubaidah mengangkat wajah, tersenyum getir. "Ndak, Pak. Zu paham."

Angin yang berhembus semilir menjatuhkan anak rambut Zubaidah menutupi mata. Satu bulir bening hinggap di kedua pipinya. Masih saja sama, meski sudah hampir dua tahun Zubaidah berusaha mengubur dalam-dalam keinginan sekolahnya, ketika mengingat semua itu..., hatinya merintih. Terlebih jika melihat teman-temannya berangkat sekolah mengenakan seragam putih abu-abu, menjinjing buku pelajaran..., air mata akan tanpa permisi meludahi wajahnya.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dari seberang tempat Zubaidah menyandarkan tubuhnya. Gadis itu celingukan. Bangkit. Dua bocah kecil--laki-laki dan perempuan, tengah asyik bermain air di sungai kecil tak jauh dari para kambing-kambing Zubaidah diangon. Gadis itu mendekat.

"Loh, kalian ngapain?"

Kedua bocah itu menghentikan aksi tawanya. Menoleh ke arah Zubaidah. Saling pandang satu sama lain. "Main, Mbak!" jawab salah satu dari mereka.

"Loh, udah pulang sekolah ta?" tanya Zubaidah lagi.

Kedua bocah itu saling pandang lagi. "Sudah!" jawab mereka bersamaan. "Mbak ngapain?"

"Tuh!" jawan Zubaidah sambil menunjuk kambing-kambingnya diikuti oleh gerakan mata kedua bocah yang separuh badannya sudah basah terendam air sungai.

"Mbak, angon kambing ya?"

Zubaidah mengangguk.

Kehadiran dua bocah tersebut cukup menjadi penghibur untuk Zubaidah. Tak sulit bagi gadis berkepang dua itu untuk bisa cepat akrab dengan anak-anak. Zubaidah dikenal gadis yang ceria, jarang melihatnya bersedih. Ia selalu dapat menyembunyikan semuanya dengan senyum, dengan canda, meski dalam hatinya tak ada satu orang pun yang tahu.

Hingga pada suatu hari, ketika sepulang dari angon kambing-kambingnya. Di tengah jalan, sebuah kecelakaan kecil telah membawa perubahan dalam kehidupan Zubaidah. Tentang harapan, mimpi, juga cinta.

Bersambung....

#Vee, 20 Jan'2016

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda