Rabu, 30 September 2015

EDELWEIS


"Eh, Mas, ngelamun aja. Keburu dingin tuh kopinya," sapa Fahrul, adik angkatan di Komunitas Gapala, membuyarkan lamunanku. Hanya sebuah senyum kecil sebagai jawaban, dan kuakhiri dengan meneguk sisa kopi dari gelas plastik yang kubawa dari rumah.

Suasana lembah gunung Arjuno pada awal bulan Oktober begini, memang tak lepas dari pemandangan kabut yang cukup tebal. Serta suasana angin yang tak mudah diprediksi, sehingga dingin yang dirasakan pun akan mampu menembus tulang. Namun bagi para pendaki, tentu itu bukan sebuah alasan untuk tidak 'naik', rasanya akan terlalu sayang jika melewatkan Sunrise dari puncak gunung, termasuk aku. Di mana alam adalah sebagian dari jiwaku.

"Pokoknya aku minta dibawakan seikat ya. Harus!"

Andai keegoisanmu dulu tak membadai, mungkin sketsa surga kecil yang kita damba, kini telah pun nyata.

"Mau nambah kopinya, Mas?" Fahrul paling mengerti kegemaranku. Sambil menunggu sang fajar terbangun dari mimpinya, dan menghipnotis para jiwa-jiwa yang kelaparan akan keindahan ciptaan Tuhan ... aku selalu menghabiskan malam dengan hitam dan pekatnya kenikmatan kopi.

Aku mengangguk, gelasku kini terisi lagi.

"Apa susahnya sih, metik satu tangkai saja untuk dibawa pulang. Mas sayang aku kan? Kalau sayang ya bawakan."

"Bukan tentang sayang dan tidak, Dik. Seorang pecinta alam dilarang memetik edelweis dan membawanya pulang, itu sama dengan mencuri."

"Meski demi aku?"

"Bahkan demi apapun. Kamu boleh minta apa saja, dan mas pasti belikan. Tapi tidak dengan yang ada di alam, Dik."

Aku kehilanganmu, aku kehilangan sosok dirimu yang dulu begitu mengerti aku. Bukankah kau pertama kali mengenalku dari alam? Namun rupanya jiwamu tak sealam denganku.

Kusruput sisa kopi dalam gelas. Rasa hangat kembali menjalar melewati kerongkongan menuju ke jantung. Sebelum detik-detik keindahan itu membuat mataku terlupa berkedip. Selalu ada keajaiban di balik keindahan Sunrise yang memukau.

"Alam itu seperti rumah keduaku, Kak. Aku mulai mengenal alam dari kegiatan PA yang kuikuti di SMA. Aku baru sadar, betapa indahnya ciptaan Tuhan yang selama ini kusia-siakan. Terlebih Sunrise. Waktu pertama kali aku lihat Sunrise, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa esok dan esok aku akan menikmatinya lagi. Seperti hidup, ia takkan selalu terjal, ia takkan selalu naik, atau turun, namun di balik semua itu ... ada keindahan yang sudah Tuhan sediakan untuk kegigihan kita."

Namanya Sellena, gadis bermata sipit yang kukenal ketika memberikan materi tentang pendakian di kampus. Sifat riang, serta kesederhanaannya mampu membuka mata hatiku, bahwa masih ada yang lebih menghargai alam dibanding wanita yang hanya mementingkan keegoisannya.

Mungkin awalnya aku salah, diam-diam mencintai gadis lain di saat aku bahkan hampir bertunangan. Tapi aku tak pernah ingin menyakiti hati kekasihku, hingga pada akhirnya aku tahu ... siapa yang lebih pantas kusebut sebagai kekasih.

Engkau selalu tahu, cara menghadiahkan keindahan bagi para pendaki-pendaki jalan-Mu yang sabar meniti terjal. Dan aku percaya, tak ada usaha yang sia-sia. Terima kasih, Tuhan.

Jember, 30 September 2015


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda