Kamis, 28 Januari 2016

cerbung 4

SI GADIS KAMBING
;part 4

Rintik-rintik hujan masih bersenandung menghias langit pagi. Suara gemericik airnya yang jatuh menempa atap rumah, seolah menjadi melodi penyenyak bagi mata-mata yang enggan terjaga.

Pagi yang cukup sepi. Jalanan yang basah, dengan beberapa genangan air yang memenuhi bagian-bagian berlubangnya. Kecoklatan. Keruh. Air bercampur lumpur. Ya, begitulah keadaan desa Zubaidah. Jalanan depan rumahnya masih berupa tanah. Aspal hanya di jalur khusus yang digunakan untuk menghubungkan satu desa ke desa lain. Dan itupun bukan keadaan jalan aspal yang mulus.

Gadis berlesung pipit itu segera bangkit dari posisinya--membantu sang ibu menyiapkan sarapan. "Bu, perutku mules. Ini...  Ibu terusin ya ngulek bumbunya!"

Tanpa menunggu jawaban dari sang ibu, Zubaidah sudah setengah berlari menuju ke toilet. Dan di saat yang bersamaan, tangannya bersentuhan dengan tangan Raka yang kebetulan pagi itu juga hendak ke kamar mandi--kamar mandi dan toilet satu ruang. Sontak Gadis yang sedang menahan sakit perutnya itu, menoleh. Segera menarik tangannya yang sempat hangat ketika kulit mereka saling bersentuhan. Cowok yang rambutnya masih acak-acakan itu pun melakukan hal yang sama. Kaget.

"Eh, gue duluan!" ucap Raka yang di bahu kirinya sudah menggantung handuk berwarna biru.

"Eh, enak aja. Orang aku duluan," sergah Zubaidah tak mau kalah. Wajahnya sudah bercampur aduk, antara sakit di perut dan sisa rona akibat persentuhan tangannya dengan Raka. Entah kenapa, seolah ada aliran listrik bertegangan tinggi yang tiba-tiba membuat jantungnya berdegup kencang.

"Please, gue dulu ya! Gue gak lama kok mandinya. Gue udah telat ini. Ada pertemuan di balai kampung," rengek cowok berhidung lebih itu pada Zubaidah. Namun belum sempat Zubaidah menjawab rengekan Raka, tiba-tiba, tuuutt! Tanpa pikir panjang, gadis berambut hitam itu..., menerjang tangan Raka. Masuk ke toilet dan mengunci pintunya.

Raka kian gusar, berkali-kali dia panggil Zubaidah yang sudah sekitar sepuluh menitan belum juga keluar. Sementara pagi ini ia ada pertemuan dengan Pak Khoirul. Huffft! Sial. Gumam Raka. Akhirnya ia pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Dua puluh menit berlalu. Zubaidah keluar dari toilet dengan wajah lega. Matanya berkeliling menyapu sekitar tempatnya. "Loh, kemana tuh cowok belagu?"

"Udah enakan, Nduk, perutnya?"

"Sampon, Bu. Oya, Bu. Itu tadi siapa, em..., cowok kota yang sok itu kemana?"

"Siapa maksudmu, Nduk? Raka?"

Ih, ngapain sih si ibu pakai hapal tuh nama cowok? Gumam Zubaidah kesal dalam hati. Zubaidah tersenyum tipis, mengangguk. "Njih, Bu."

"Kamu ndak boleh bicara begitu. Kan kamu udah tahu namanya to? Menurut ibu dia anaknya baik, sopan juga, Nduk."

"Sopan? Sopan dari Hong Kong. Aku tuh kesel banget sama dia, Bu. Kalau bukan gara-gara dia yang ugal-ugalan di jalan. Pasti anak embekku ndak mati. Kan itu jatahku, Bu." Gadis penyuka hujan itu memonyongkan bibirnya, memasang wajah kesal.

Ibunya Zubaidah hanya tersenyum menanggapi ucapan putrinya. "Soal itu dia sudah cerita semalam sama bapak dan ibu. Sekaligus minta maaf. Dia merasa menyesal karena akibat ulahnya, anak kambingmu mati."

"Kok dia ndak minta maaf ke aku sih, Bu?"

"Lagian embekmu itu kan sudah mati. Mau digimanain pun ya sudah mati. Ndak ada gunanya kamu mau marah atau apa sama Raka."

Hufftt! Zubaidah mendengus kesal. Bisa-bisanya ibu lebih membela cowok itu dari pada anaknya sendiri. Omel Zubaidah dalam hati.

Setelah selesai membantu sang ibu di dapur, gadis yang lebih suka menghabiskan waktu bersama kambing-kambing peliharaannya itu, mengintip ke kamarnya. Tepatnya kamar yang kini dihuni dua cowok asing yang sedang KKN di desanya. Pasti nasib kamarku sekarang udah lebih mirip kapal pecah. Tanpa sadar, tangan Zubaidah telah membuka pintu kamar yang tak terkunci itu. Kosong? Loh, kemana tuh cowok belagu itu? Bukannya tadi dia bilang mau mandi?

Kedua mata Zubaidah sempat melongo ketika ia telah tepat masuk ke dalam kamarnya. Bagaimana bisa? Di mana kapal pecah itu? Bukankah seharusnya kamar cowok sebelagu itu berantakan? Namun ini justru tidak. Pakaian menggantung rapi, beberapa buku yang berada di atas meja pun, tak terlihat acak-acakan. Dan bahkan selimut yang sempat ia berikan semalam untuk menyelimuti tidur kedua cowok itu, sudah terlipat rapi di atas ranjang.

Zubaidah melangkahkan kakinya mendekati meja. Ada sebuah buku yang menarik rasa penasarannya. Selama ini gadis penggemar warna ungu itu, memang hobby membaca. Hanya sayang, keinginannya untuk sekolah harus patah lantaran orang tuanya yang merasa tak sanggup untuk membiayai. 'Rembulan Tenggelam di Wajahmu' bibir Zubaidah bergerak-gerak membaca judul sampul tersebut. Rupanya Raka memiliki hobby yang sama dengannya--membaca.

Namun sial, saat belum sempat Zubaidah keluar dari kamar. Sebuah langkah tergesa sedang berjalan menuju ke tempatnya.

"Tunggu bentar, Bro. Gue ganti baju dulu ya!" Jelas itu suara Raka yang berbicara dengan temannya yang barangkali sedang menunggu di depan.

Glek! Zubaidah menelan ludah. Ia terperangkap di dalam kamarnya Raka. Ia bingung harus bersembunyi di mana. Tidak mungkin jika di saat semepet ini, dia tiba-tiba keluar begitu saja. Zubaidah memutar otak, mencari tempat sembunyi yang aman.  Dan pintu kamar pun terbuka.

Bersambung....

#Vee, Jan'2016

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda