Jumat, 22 Januari 2016

cermin

SESUATU YANG DIPERJUANGKAN

Plak! Gamparan keras mendarat di pipi kananku. Aku mengaduh, merintih. Tak sampai di situ saja, dengan gerakan super patas..., cengkeraman tangannya mampu membuat tubuhku terpental. Tak ayal, badan mungil dan imutku terpelanting tepat di bawah tiang jemuran, setelah ia melepas begitu saja genggamannya. Sekali lagi aku mengaduh, meringis.

"Hei, apa kamu sudah gila?!" umpatku, mengelus-elus kepala, efek terbentur tiang jemuran. Semoga benturan ini tak membuatku amnesia.

"Kamu yang gila!" bentaknya, melotot, napas tersengal.

"Kamu hampir saja membunuhku!" protesku tak kalah melotot, sambil terus mengelus-elus kepala.

"Harusnya kamu berterima kasih padaku, karena telah menyelamatkanmu." Napasnya sudah mulai normal, namun matanya masih saja melotot menatapku.

"Emang kamu pikir aku mau ngapain?" Aku mulai memperbaiki posisi dudukku, untungnya kepalaku tidak benjol parah.

"Memang apa lagi yang mau dilakukan seseorang di atas lantai dengan sebagian badan menjuntai ke bawah?" Kali ini matanya sudah tidak semelotot tadi, tapi tetap saja..., pandangan mengintrogasinya aku kurang suka.

"Kamu pikir aku mau bunuh diri?" Aku bangkit, menghampiri posisinya, berdiri menyandar pada dinding setinggi dada orang dewasa.

"Apa lagi?" Dia memutar badan, melempar pandangan pada lalu lalang bocah-bocah yang berlarian di jalan bawah sana.

Saat ini, kami--aku, dan Dhedi, sedang berada di tingkat paling atas rumah sewa kami. Rumah yang sudah kami huni satu tahun terakhir ini. Bukan rumah yang mewah untuk pasangan baru, namun bukan mewah yang kami cari. Kami sama-sama pecinta rembulan. Dan di tempat ini, kami bisa setiap malam duduk berdua di lantai paling atas, tanpa atap ini, untuk memandang rembulan yang menggantung indah di langit.

"Ck!" jawabku singkat, mengikuti arah pandangannya menyapu jalanan depan rumah sewa kami.

"Aku minta maaf, jika semalam sudah membuatmu kecewa. Tapi kamu gak harus melakukan semua ini juga. Aku sayang sama kamu, Nduk!" Dia menoleh padaku, tersenyum. Tangan kanannya meraih tanganku, menggenggam. "Jangan pernah melakukan hal ini lagi ya!"

Aku mengernyitkan dahi, tersenyum. "Jadi kamu pikir aku begituan tadi mau bunuh diri?"

Dia mengangguk pelan.

Aku tertawa kecil, membalas genggaman tangannya. "Sayang, aku menjuntai tadi itu bukan mau bunuh diri. Aku belum gila untuk membiarkanmu mencari penggantiku. Namun aku sedang memperjuangkan sesuatu barang berharga yang kumiliki."

Keningnya terlipat saat mendengar penjelasanku, menatapku bingung. "Apa itu, Nduk?"

Aku menarik tangannya, menunjuk sesuatu yang terjatuh kemarin sore saat aku mengangkat jemuran. Posisinya masih tercantol kawat di lantai bawah. Sesaat, matanya melongo saat melihat barang itu. Menoleh padaku, meringis.

"Itu?" ujarnya kemudian.

"Hu'um." Aku mengangguk pelan, tersenyum malu.

Akhirnya, dengan bantuan sebatang tongkat golf miliknya, dan agak lebih berani menjuntai, barang yang kuperjuangkan itu dapat kembali ke tanganku.

"Lain kali, hati-hati saat menjemurnya ya! Kadang angin suka mencuri yang segitiga-segitiga begini," ucapnya menggoda, sambil memencet hidungku yang minimalis.

Aku mengaduh, meringis. "Itu kan kado ulang tahun darimu tahun lalu, Sayang!"


#Vee, Des'2015

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda