Jumat, 22 Januari 2016

cerpen

BADAI DALAM HUJAN
'Ketika kita harus rela melepas cinta demi kebahagiaannya yang sempurna'


Hujan kembali menghardik bumi. Sederas air matanya yang mengguyur di kedua pipinya. Wajah yang beberapa menit tadi nampak berseri-seri karena leluconku, seketika berubah ... kuyup dalam deras hujan yang keruh. Sungguh! Aku tak pernah berniat membuatnya semakin tenggelam dalam genangan luka, karenaku.

Ah, badai tadi ... benar-benar telah mampu memporandakan tegaknya. Ia gontai, sebelum akhirnya ambruk tepat di depanku.

"Apakah aku terlalu buruk untukmu?" tanyanya, sendu. Hatiku kian bergetar dahsyat.

"Tidak! Bahkan engkau terlalu sempurna untuk lelaki sepertiku." Suaraku kian berat.

Terasa ngilu seluruh persendian kalimatku, tatkala kedua mata yang sedari tadi lembab, kini mulai berembun lalu hujan deras. Angin di wajahnya yang semula sepoi, kini berubah menjadi topan yang telah melantakkan pertahanan di kedua mata beningnya.

"Lantas kenapa kau tak mampu memberiku kepastian akan kita?" Suaranya kian parau, menahan hantaman ombak yang bergulung-gulung pada ketegaran bathinnya.

"Kesempurnaanmulah yang membuatku harus mundur, dan rela melepaskanmu demi yang pantas untukmu!" Dadaku kembali sesak, serasa gemuruh kian bergejolak membakar jiwaku.

Aku mendesah. Berusaha mengatur nafasku tatkala sorot matanya tak lagi seteduh lalu.

"Tapi aku memilihmu!" Jeritnya membelah derasnya hujan yang beradu dengan sorot tatapannya yang menyerupa petir saling sambar di kegelapan.

Perasaan ini begitu rumit, aku pun kian terhuyung-huyung pada resah yang panjang.

Sejenak hening. Sesekali terdengar isak tangisnya yang menyerupa hantaman gelombang besar tepat memecah pada tepian karang bathinku.

Andai aku dapat bercerita tentang memar di sekujur badan ini padanya, barangkali tiupan badai pada jiwanya takkan sampai menghancurkan segala tegak dalam pertahanannya.

Tapi tidak! Kebahagiaannya jauh lebih penting dari seberapa pun luka yang kusandang. Ah! Otakku kian kacau, pikiranku kian melayang tak karuan.

Kupandangi lagi wajahnya yang kian sembab akan hujan di wajahnya. Badai itu perlahan mulai surut, meski rerintiknya masih terlihat jelas menggenang di sudut matanya.

"Harusnya kamu tahu, bahwa kesempurnaan yang aku miliki saat ini, karena kamu yang melengkapinya. Dan kesempurnaan ini akan hilang jika kamu berniat pergi dariku." Ah! Dadaku semakin sesak menahan gigil dari rintih perihnya yang mengguyur jiwaku.

"Kesempurnaan itu takkan hilang, Key. Karena akan terganti dengan kesempurnaan baru yang akan lebih mampu mengimbangimu." Barangkali aku adalah pria paling naif di muka bumi ini. Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk sekedar melindungi perempuanku dari amukan badai akibat ketidakberdayaanku sendiri?

Masih jelas teringat kejadian siang tadi, tiga orang preman suruhan keluarganya yang menghampiriku dengan hantaman tanpa kasihan. Dan ah, sialnya. Aku bahkan tak mampu mengelak dari setiap ludahannya atas kebodohanku.

Sebuah pistol bermata api itu siap menembus otakku, jika aku masih berhubungan dengan Keyla.

"Maafkan aku, Key. Seperti aku yang rela melepaskanmu demi kebahagiaanmu yang sempurna. Maka ikhlaskan aku, meski tanpa bahagianya cinta." Telah kuputuskan untuk berlalu pergi dari segala rasa yang tak seharusnya ada. Mungkin ini sebuah kebodohan, namun aku tak punya sebuah pilihan sekedar untuk mempertahankan cinta yang seharusnya kuselamatkan.

Matanya kian kuyup menatapku. Rintihnya pun semakin menenggelamkanku pada jurang keasaan. Pilunya memanggilku, kesedihannya mengulurkan tangan padaku. Bahkan di ketidakberdayaanku masih sempat ia memelukku erat dari balik punggungku.

Ah, aku semakin tak berdaya. Ronta tangisnya kian menjadi kala aku membalas dekapannya. Lalu beberapa detik kemudian, badannya layu dan roboh pasrah di depanku.

Perempuanku pingsan. Kuamati paras sendunya, nampak begitu besar kegelisahan yang dirasakannya. Dadaku kian berontak. Kukecup perlahan keningnya yang terbasah oleh amukan badai dalam hujan malam ini. Dingin. Seluruh badannya begitu dingin.

'Perempuanku, ketahuilah. Tak ada satu perempuan yang mampu menjadi dirimu. Saat duniaku dipenuhi oleh tawamu, oleh senyummu, oleh candamu, bahkan oleh air mata dan kesedihanmu. Namun kali ini aku rela, badai kehidupan nyata berhasil melantakkan tegak atas cintaku padamu. Tidurlah perempuanku, memeluk mimpi terindah dalam malammu. Dan bangunlah esok, ketika aku takkan mungkin kau temui'

Jember, 26 Maret 2015




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda