TIMMY OH TIMMY
"Trus gue harus bilang wow gitcyuu? Ya ampyunnnn, sorry mayori donal bebek tenggelam di kali duehhh. Yey itu harus terus terang, terang terus sampai pageee berkale-kale buat jujur ama doi. Kalau begindang teyus, mau ampe keriting jari atas bawah yey, ups! Yey kan awewe, mana punya jari bawah. Huhuhu. Sorry keblabasan, yey gak bakal bisa tenang," cerocos Timmy tanpa henti, sudah seperti kereta api yang lupa menggunakan rem.
Kadang aku suka bete bertubi-tubi kalau dengar ocehannya Timmy. Bisa-bisa dari zamannya Pak Soekarno sampai Ganteng Ganteng Serigala bisa nyangkut di lidahnya. Tapi kupikir-pikir, memang ada benarnya juga kata Timmy. Aku gak mungkin memendam perasaan ini terus menerus, bisa tumbuh singkong di atas kepalaku nanti.
"Iyuuhh, kebiasaan deh yey. Kalau eike lagi ngomong mesti ditinggal bengong." Timmy memasang wajah cemberut, udah persis sama wajahnya Aziz Gagap pas lagi dandan ala rempong. Aku tersenyum geli melihatnya.
"Lu bantuin gue, dong. Kan lu tahu gue cewek, masak nembak duluan," belaku mengendorkan senyum, sambil merebahkan kepala pada sebuah bantal berwarna ungu yang sedari tadi menggodaku. Pandanganku menerawang menembus langit-langit kamar yang remang. Sementara di luar, hujan masih bertahan. Suara-suara gemericik air jatuhnya terdengar hingga ke dalam ruangan; ah, gentingku yang bocor.
"Burung keles, nembak. Dor! Mati dong? Hihihi." Gigi berkawat 24 karatnya Timmy nampak berjajar rapi, bak jeruji-jeruji besi para napi pelaku korupsi.
Kadang aku suka heran, kapan dan di mana aku nemuin makhluk aneh bin langka kayak Timmy ya? Tak sesadar itukah aku kala itu memungutnya dan menjadikannya sahabat? Tapi bukankah sahabat yang benar-benar sahabat itu, adalah mereka yang ada tak hanya ketika kita membutuhkan bantuannya saja? Dan Timmy lebih daripada sekadar itu.
Mungkin aku punya ratusan teman yang mengatakan mereka teman di depanku, tapi tidak di belakangku. Banyak orang yang tak kita tahu isi akan kepala dan hatinya. Di balik semua kekurangan serta keanehan yang Timmy miliki, dia adalah sahabat sejati. Aku tak peduli pandangan mereka, dan seburuk apa Timmy bagi mereka. Toh, baik itu dari hati bukan?
"Gue ciyus keles, Tim!" Kutopang dagu dengan kedua tanganku, lalu mengalihkan pandanganku menembus bingkai kaca jendela yang berada di depanku. Kaca bagian luarnya sudah basah, rupanya hujan turun dengan begitu derasnya. Andai di dalam hujan aku dapat merobohkan keraguan, sudah sejak tadi aku akan bermain hujan seharian.
"Ya udehhh, sebagai sahabat elu yang paling baik, sopan santun, suka menolong, dan suka dipuji," ucap Timmy dengan gaya iyuhnya yang enggak banget. "Besok gue bantu elu, tapeeeeeee ... elu mesti ngikut skenario gue."
Kuangkat alisku tanda was-was dan curiga, takut ada gempa susulan setelah hujan seharian. Dan akhirnya, dengan sepasang kaki kuda-kuda kuiyakan skenarionya Timmy. Dan, bismillah!
***
"Kok lu tega sih ama gue, Tim? Lu tuh udah gue anggap lebih dari sekedar sodara tau. Tapi kenapa ...." Kalimatku terasa terhambat di dalam rongga, lalu keselek biji durian sebelum menikmati buahnya. Kesiksa banget. Pingin dimuntahin berat, ditelan sesak. Oh ....
Timmy menggenggam kedua bahuku, kedua matanya sudah nampak merah. Lalu rerintik hujan kemarin sore tiba-tiba jatuh dari sudut matanya yang memakai bulu mata palsu. "Sorry ye, Cin. Gue kilap, tapi semua ini demi elu. Sumpah takewer-kewer deh, berani disambar petir, eh ... jangan dong! Mati dong eike. Maksud eike, doi gak pantas ama elu."
"Terus pantesnya ama elu, gitu?" Kulepas genggaman tangan Timmy di bahuku, dan membalikkan badan membelakanginya. Namun dengan cepat wajah Timmy sudah berada di depanku. Aku membalikkan badanku lagi dan membelakanginya, namun dengan sangat cepat dia sudah ada di depanku lagi. Dan ....
"Ci luk ba!"
"Gak lucu!" teriakku memalingkan wajah.
Tanpa kusadari, sesosok pria yang berpenampilan maskulin dengan wangi parfum yang, ah! Berdiri di antara aku dan Timmy. Aku mengenal pria itu, meski tak begitu kenal. Pria itu berjalan mendekati Timmy, lalu mengalihkan pandangannya menatapku.
"Sorry Al, gue lebih milih Timmy dari elu. Semoga elu bisa dapetin cowok yang lebih macho dari gue," ucap pria itu yang kemudian tersenyum menatap Timmy. "Bener gak, Cin?" Tiba-tiba suara macho pria tadi, berubah lembek kayak kerupuk yang tersiram air, dan ... glek! Aku jadi membutuhkan napas buatan, eh ... segelas coklat panas agar segera bangun dari rasa mual dan sesak napas.
Jember, 17 September 2015
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda