Rabu, 30 September 2015

EDELWEIS


"Eh, Mas, ngelamun aja. Keburu dingin tuh kopinya," sapa Fahrul, adik angkatan di Komunitas Gapala, membuyarkan lamunanku. Hanya sebuah senyum kecil sebagai jawaban, dan kuakhiri dengan meneguk sisa kopi dari gelas plastik yang kubawa dari rumah.

Suasana lembah gunung Arjuno pada awal bulan Oktober begini, memang tak lepas dari pemandangan kabut yang cukup tebal. Serta suasana angin yang tak mudah diprediksi, sehingga dingin yang dirasakan pun akan mampu menembus tulang. Namun bagi para pendaki, tentu itu bukan sebuah alasan untuk tidak 'naik', rasanya akan terlalu sayang jika melewatkan Sunrise dari puncak gunung, termasuk aku. Di mana alam adalah sebagian dari jiwaku.

"Pokoknya aku minta dibawakan seikat ya. Harus!"

Andai keegoisanmu dulu tak membadai, mungkin sketsa surga kecil yang kita damba, kini telah pun nyata.

"Mau nambah kopinya, Mas?" Fahrul paling mengerti kegemaranku. Sambil menunggu sang fajar terbangun dari mimpinya, dan menghipnotis para jiwa-jiwa yang kelaparan akan keindahan ciptaan Tuhan ... aku selalu menghabiskan malam dengan hitam dan pekatnya kenikmatan kopi.

Aku mengangguk, gelasku kini terisi lagi.

"Apa susahnya sih, metik satu tangkai saja untuk dibawa pulang. Mas sayang aku kan? Kalau sayang ya bawakan."

"Bukan tentang sayang dan tidak, Dik. Seorang pecinta alam dilarang memetik edelweis dan membawanya pulang, itu sama dengan mencuri."

"Meski demi aku?"

"Bahkan demi apapun. Kamu boleh minta apa saja, dan mas pasti belikan. Tapi tidak dengan yang ada di alam, Dik."

Aku kehilanganmu, aku kehilangan sosok dirimu yang dulu begitu mengerti aku. Bukankah kau pertama kali mengenalku dari alam? Namun rupanya jiwamu tak sealam denganku.

Kusruput sisa kopi dalam gelas. Rasa hangat kembali menjalar melewati kerongkongan menuju ke jantung. Sebelum detik-detik keindahan itu membuat mataku terlupa berkedip. Selalu ada keajaiban di balik keindahan Sunrise yang memukau.

"Alam itu seperti rumah keduaku, Kak. Aku mulai mengenal alam dari kegiatan PA yang kuikuti di SMA. Aku baru sadar, betapa indahnya ciptaan Tuhan yang selama ini kusia-siakan. Terlebih Sunrise. Waktu pertama kali aku lihat Sunrise, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa esok dan esok aku akan menikmatinya lagi. Seperti hidup, ia takkan selalu terjal, ia takkan selalu naik, atau turun, namun di balik semua itu ... ada keindahan yang sudah Tuhan sediakan untuk kegigihan kita."

Namanya Sellena, gadis bermata sipit yang kukenal ketika memberikan materi tentang pendakian di kampus. Sifat riang, serta kesederhanaannya mampu membuka mata hatiku, bahwa masih ada yang lebih menghargai alam dibanding wanita yang hanya mementingkan keegoisannya.

Mungkin awalnya aku salah, diam-diam mencintai gadis lain di saat aku bahkan hampir bertunangan. Tapi aku tak pernah ingin menyakiti hati kekasihku, hingga pada akhirnya aku tahu ... siapa yang lebih pantas kusebut sebagai kekasih.

Engkau selalu tahu, cara menghadiahkan keindahan bagi para pendaki-pendaki jalan-Mu yang sabar meniti terjal. Dan aku percaya, tak ada usaha yang sia-sia. Terima kasih, Tuhan.

Jember, 30 September 2015


Selasa, 29 September 2015

Masa Kecil, Masa Penuh Warna

SENGATAN KECIL

Bicara tentang masa kecil, sudah pasti... kita akan senyum-senyum sendiri, bahkan tak peduli meski ada yang memperhatikan kita penuh curiga. Namaku Nurul, si tomboy yang hobby manjat pohon mangga, itupun milik tetangga. Hehe.

Pernah suatu ketika, waktu itu kalau tak salah umurku sekitar tujuh tahunan. Pas lagi asyik main kelereng sama teman-teman, tiba-tiba ada salah satu temanku yang datang. Namanya Supri, berkulit hitam, rambut keriting, kucel, dan ingusan lagi. Pokoknya iyuh banget deh.

"Iihh, kamu jangan berdiri di situ napa! Aku ndak keliatan tau," bentakku kesal pada Supri yang menghalangiku bermain kelereng.

"Eh, Nur. Pak Haji Arifin barusan pergi naik mobil, yuk kita serang mangganya! Kan kemarin kita gagal manjat gara-gara ketahuan," ucap Supri sambil mengusap ingus dengan tangan kirinya, alhasil... wajah kumel Supri menjadi lebih mirip lukisan ombak yang menabrak hidung peseknya, ditambah debu-debu yang semakin mempertebal ingus di pipinya. 

Mendengar ucapan Supri, aku langsung menghentikan gerakan jemariku untuk melempar kelereng. Aku ingat. Tepatnya kemarin lusa, aku, Supri, dan Eko, anak tetanggaku yang penakut itu... berniat memetik beberapa mangga miliknya Pak Haji Arifin untuk rujakan. Namun belum sempat memetik satu buah mangga, Pak haji tiba-tiba keluar rumah dan meneriaki kami. Dan akibatnya, rencana makan rujak mangga kami, gagal.

"Ya sudah, sekarang saja!" perintahku. 

Akhirnya kami berempat sampai di halaman rumah Pak haji, halaman itu cukup luas dan berada di sebelah kanan agak ke belakang dari rumah beliau. Selain dua pohon mangga, di sana juga terdapat satu pohon jambu biji, dan satu pohon jambu air. 

"Udah kamu cepetan naik!" perintah Aris mengarah padaku.

"Kok aku? Supri tuh suruh naik, lagian aku kan sedang pakai rok," sergahku membela diri.

"Halah, pakai rok kek, sarung kek... kamu kan paling jago soal manjat," tambah Supri. 

Akhirnya dengan wajah terpaksa, aku lipat rokku dan mulai memanjat pohon mangga yang tak begitu tinggi. Namun sial, ketika hendak memetik mangga yang berada di sebelah atasku... kepalaku menyenggol sarang tawon manyang. Jenis lebah yang agak kecil, berwarna kuning dengan bentuk perut agak lonjong. Beberapa ekor lebah tersebut berhasil menyengat kepalaku, dengan cepat aku turun dan lari, diikuti ketiga temanku.

Sesampai di rumah, bukannya disayang-sayang sama ibu, malah dimarahi.

"Makanya, jadi anak perempuan itu yang luwes. Masa anak perempuan kok kerjaannya manjat pohon, kalau udah bengkak begini masih mau manjat lagi?" ocehan ibu yang hanya mendapat gelengan kepala sebagai jawabanku.

Aku kapok nyuri mangga lagi, lain kali tak mau nyuri mangga lagi. Tapi kalau di pohon jambu, ada tawonnya tidak ya?

Namanya juga anak kecil, meski berulang kali jatuh dan lututnya berdarah, itu takkan membuat mereka untuk tidak berlari.
Selalu ada senyum, ketika memori masa kecil terulang kembali, walaupun hanya sekedar kenangan. Namun sayang, aku tak memiliki foto sebagai kenangan tersebut. Hehe. Maaf ya, Mbak! Fotonya pakai yang sekarang aja ya!


Tulisan ini diikutsertakan dalam Pena Cinta First Giveaway 

Kamis, 24 September 2015

SAJAK JATUH CINTA

Saat pertama kali melihatmu
Perasaanku begitu berbeda
Dadaku seperti ditinju di dalam ring
Dan seperti ditarik-tarik tali
Aku susah bernapas
Seolah tercekik sayap ayam
Mungkin ini yang dinamakan jatuh cinta
Aku telah jatuh cinta
Aku ingin sekali menyanyi
Kudengarkan balada dari cowok
yang bernama Sting
Lalu menatap matamu
Dan tiba-tiba musim semi
Seperti ketika Nala yang menatap
Simba dalam film Lion King
Mungkin inilah yang dinamakan cinta
Aku jatuh cinta padamu

        Cinta di udara
        Aku tak takut apa-apa
        Karena aku gembira
        Dengan cinta yang aku rasakan

        Cinta di dalam hujan
        Kini tak menyakitkan lagi
        Karena aku jatuh cinta
        Dan mari kita merayakan

Hei kalian yang sedang jatuh cinta
Dari sini hingga ke Beijing
Naiklah ke ranjangmu
Dengan cinta
Jika kalian cinta karena uang
Teriak cinta kalian akan kaya!
Jika cinta karena Cupit
Sedikit sengatan
Akan berasa semalam-malaman

        Cinta di udara
        Aku tak takut apa-apa
        Karena aku gembira
        Dengan cinta yang aku rasakan

       Cinta di dalam hujan
       Kini tak menyakitkan lagi
       Karena aku jatuh cinta
       Dan mari kita merayakan

Inikah jatuh cinta?

Jember, 24 September 2015

#JhonnystainMarvis

Sajak

Percakapan Hujan dan Daun

Malam itu, hujan tiba-tiba datang
memakai mantel berwarna gelap
Badannya menggigil kedinginan
Sementara sepatu boat yang ia kenakan
sudah kemasukan air hingga di ujungnya

Hujan berlari-lari
Mencari perlindungan
Ia pun berteduh di bawah
daun-daun
;memeluk reranting, erat.
Ranting itu sudah tua
Badannya nampak kurus dan kering
Kepalanya basah
Kakinya bergetar-getar
Matanya menyala-nyala
;terang!

"Kenapa ranting sekering itu dapat melindungimu, Daun?"

Daun mendongak pada hujan
Lalu tersenyum

"Karena tanpa ranting, daun hanya selembar pasrah yang kembali ke tanah."

Hujan pun segera pergi
Ditinggalkannya mantel
Menggantung pada salah satu
ranting, daun bergeming.


Jember, 24 September 2015





Rabu, 23 September 2015

Cerpen

SURGA YANG DITINGGALKAN
Genre ; Kehidupan Sosial

"Mbak, kapan ibu pulang?" Mata Eliana kembali memerah, setiap kali Ali, adik satu-satunya yang berumur lima tahun menanyakan hal yang sama. Tenggorokan Eli seakan kering, harus menyusun kebohongan apalagi untuk membuat adiknya mengerti.

"Sabar ya, Al. Mbak sudah kirim surat untuk ibu. Semoga lebaran nanti ibu bisa pulang." Dan hampir saja butiran bening itu jatuh di kedua sudut mata Eli, sapaan gadis bermata sipit yang menurun dari kakeknya--keturunan orang China.

Langit-langit rumah yang berukuran tak lebih besar dari kandang sapi milik tetangga itu, sudah terlihat begitu rapuh. Dan bisa saja, angin yang tiba-tiba datang dengan skala sedikit lebih kencang akan mampu merobohkan surga kecil yang sudah terlupakan oleh sebagian penghuninya.

Eli memejamkan kedua mata sayunya, memeluk tubuh kecil Al yang mendekap manja pada dirinya. Segala beban yang terus menghujani seisi dada dan kepala Eli, seakan semakin mencabik-cabik benteng pertahanannya. Sudah sejak lama Eli ingin menyerah, jika bukan karena Al yang masih membutuhkannya, mungkin saat ini Eli sudah bahagia bersama bapaknya di surga.

"Mbak, Al lapar." Ali mendongak, mencoba meraih kedua mata Eli yang sudah banjir.

Eli semakin mempererat dekapannya di tubuh sang adik, sementara mata Eli tak henti menghujani kedua pipi kurusnya dengan air mata yang begitu mengerti dengan segala beban kehidupan Eli.

"Sebentar lagi kita akan makan, Al." Eli melirik pada ruangan dapur yang hanya dibatasi dengan sebuah kain kusam dan kotor berwarna kecoklatan di depannya. Eli ingat, kain itu dulu berwarna kuning, warna kesukaan Eli. Namun entah kenapa, warna itu bukan memudar menjadi putih atau krem, tapi malah menjadi kecoklatan dan bahkan hampir hitam.

Dulu, dulu sekali. Di dalam ruangan kecil itu segala kisah pernah terpahat. Dari sebuah kepulan asap yang begitu harum di penciuman Eli, selalu dapat membuatnya terbangun pagi untuk membantu sang ibu. Meski lauk yang disediakan begitu sederhana, namun kebahagiaan Eli ketika itu terasa sempurna. Seorang bapak yang sangat mencintai keluarga, serta ibu yang masih terlihat sangat cantik meski hanya menggelung rambut panjangnya begitu saja. Namun kini ruangan kecil itu hanya menyisakan pengap dan sesak, karena jangankan untuk memasak, bahkan tumang yang dulu biasa digunakan sang ibu menanak nasi sudah hancur, sebagian batu batanya sudah menjadi kepingan-kepingan yang tak berbentuk lagi.

"Bapak boleh ya Buk, untuk merantau? Lagipula setahun sekali bapak bisa pulang, daripada kerja serabutan di sini, hasilnya udah ndak mencukupi. Apalagi Eli sebentar lagi udah masuk SD to?"

Eli menyesal kenapa harus mengizinkan sang bapak untuk pergi merantau meninggalkannya dengan sang ibu. Ketika itu, Eli tak pernah berpikir akan seberat ini kehidupannya, tanpa bapak, tanpa ibu ... dan harus menanggung segala kebutuhan Ali.

Di tahun-tahun pertama, kehidupan keluarga Eli sudah mulai membaik. Setiap pagi, Eli sudah bisa merasakan daging ayam yang ibunya beli dari hasil kiriman sang bapak. Dulu, jangankan setiap pagi ... sebulan sekali saja belum tentu bisa, jika bukan karena ada tetangga yang sedang ada acara hajatan.

Rupanya kecantikan sang ibu serta kesendiriannya ditinggal suami merantau jauh, membuat wanita yang hampir tak pernah bersolek itu sering merasa kesepian. Eli tak ingat dari mana semua bermula, laki-laki berambut agak gondrong dengan tindik di telinga kiri ... begitu sering datang ke rumahnya. Atau bahkan sang ibu seringkali tak berada di rumah sepulang Eli dari sekolah. Lalu pulang pada malam harinya, dengan membawakan sebungkus mi ayam kesukaan Eli. Eli tak berani bertanya pada sang ibu, dan Eli juga tak berani mengatakannya kepada bapak ketika beliau pulang.

Semua seperti baik-baik saja, semua seperti tak pernah terjadi sesuatu di rumah itu. Tentang ibu Eli dengan laki-laki bertindik yang hampir setiap hari datang kerumahnya, atau juga tentang sikap sang ibu pada bapak Eli. Semua terlihat sama, kemesraan mereka, canda tawa, serta tak ada tanda-tanda sebuah pertengkaran sekecil apapun di rumah Eli.

"Eli jaga ibu baik-baik ya, Nduk. Mungkin tahun depan bapak akan telat pulangnya. Kebetulan bapak dapat proyek lebih besar, insyaallah ... sepulang nanti, bapak akan membangun surga kecil kita ini menjadi surga yang akan membuat ibumu dan kamu nyaman." ucap bapak Eli pagi itu, sambil menyiapkan barang bawaannya yang akan dibawa dalam perantauan. Seperti tembakau khas Jawa, atau kopi hasil racikan tangan sang ibu. Namun kali ini ibu Elu enggan meracik kopi itu sendiri, dengan alasan tangannya sedang sakit sehabis keseleo ketika menimba air di sumur belakang. Eli tahu itu hanya alasan sang ibu saja, tapi Eli hanya diam.

"Bapak janji akan pulang tahun depan kan? Eli pingin saat kelulusan nanti, bapak yang ambil ijazah Eli." Eli menatap wajah sang bapak yang kini terlihat jauh lebih tua dari sebelum memutuskan untuk pergi merantau. Telapak tangan bapak Eli juga terasa begitu kasar dari yang dulu, bahkan beberapa helai rambutnya sudah terlihat berganti warna--putih. Hanya satu yang dirasakan Eli tak pernah berubah dari bapaknya, yaitu senyum. Senyum yang selalu hangat memeluk tubuh Eli yang sangat menyayanginya.

Manusia memang tak pernah tahu perihal takdir, rezeki dan bahkan kematian yang kapan saja bisa menghampiri manusia. Eli pun tak pernah menyangka, pesan yang bapaknya sampaikan waktu itu ... adalah pesan terakhir untuk dirinya. Senyum yang terukir begitu indah kala itu, adalah senyum perpisahan, bahwa hidup akan ada waktunya untuk kembali kepada Sang Pencipta. Sebuah kepastian yang memang sudah digariskan.

"Kenapa bapakku yang orang baik harus meninggal dengan cara yang begitu tragis." Isak tangis Eli tak percaya.

Pak Handoko, tetangga Eli sekaligus orang yang dulu mengajak bapaknya untuk merantau tiba-tiba datang ke rumahnya dan memberitahukan sebuah kabar, bahwa sang bapak mengalami kecelakaan, terjatuh dari atas gedung yang sedang digarapnya. Dan meninggal di tempat kejadian.

"Mbak, Al lapar." Rengekan Ali membuat Eli tersadar dari lamunan yang sudah jauh menembus masa lalunya. Eli tersenyum, tangan kanannya mengusap lembut kepala Ali.

Harusnya kamu tak pernah ada dalam kehidupan surgaku, Al. Kenapa kamu tak ikut mati bersama bapakmu, yang tak lebih hanya seorang laki-laki penghancur mimpi seorang bocah yang dibuatnya menjadi yatim. Bocah yang harus menanggung kehidupan yang tak pernah terbayang sebelumnya, serta memendam segala kepedihan tanpa seorang pun yang peduli.

Laki-laki berambut gondrong yang hingga saat ini Eli enggan menyebut namanya itu, diperkenalkan oleh sang ibu sebagai bapak barunya, tepat di hari ke empat puluh meninggalnya sang bapak. Sebegitu mudahnyakah cinta ibu terkubur tanpa sebuah penyesalan atas kepergian bapak? Namun Tuhan selalu adil bukan? Tepat di hari kelahiran Ali, adik yang sama sekali tak Eli harapkan kehadirannya, laki-laki gondrong dan bertatto itu ... mati tertembak peluru polisi yang menembus dadanya. Seorang anggota perampok bank tidak akan pernah pantas untuk kupanggil bapak. Seru Eli.

Eli segera menghapus segala bayangan atas kebenciannya pada wajah polos Ali yang kini menatapnya penuh pengharapan. Eli sadar, tak ada gunanya ia memendam segala dendam atas kehancuran surganya bersama sang bapak dan ibu. Karena Ali juga sebagai korban atas keegoisan dari orang-orang yang seharusnya menjaga dan merawatnya. Andai ibunya bisa sedikit menahan segala nafsu hatinya, mungkin semua ini juga takkan pernah terjadi.

Semenjak bapak Eli meninggal, kehidupan Eli sangat berubah. Laki-laki penghancur itu hanya bisa makan, tidur, atau minum-minum di rumah. Apalagi dengan keadaan sang ibu yang tengah hamil. Dan pada akhirnya, Eli harus mengubur keinginannya untuk sekolah di bangku SMP, dan menelan kenyataan bahwa kini ia ikut berjuang dalam mempertahankan hidup. Eli senang dengan kematian laki-laki tak bertanggungjawab itu, yang kerjaannya hanya bisa menyusahkan saja.

Beban kehidupan Eli bersama sang ibu, lambat laun juga mengalami perubahan yang drastis. Terlebih Ali yang masih bayi. Jangankan untuk membeli susu, untuk makan sehari-hari saja, Eli harus seharian berjalan menembus terik yang membakar telapak kakinya yang telanjang, sambil menjajakan kue-kue gorengan milik tetangga.

"Kamu jaga Ali ya, El. Ibu dapat tawaran untuk kerja di luar negeri."

Andai Eli mampu berontak, ingin ia teriak dan menentang keinginan ibunya. Bagaimana bisa, seorang bocah berumur lima belas tahun dapat mengurus seorang bocah empat tahun sendirian? Namun lagi-lagi, pemberontakan Eli hanya tersangkut dalam rongganya saja. Eli tak dapat membantah apa yang dikatakan oleh ibunya.

Tahun pertama semuanya berjalan lancar, meski sang ibu masih dalam masa potongan gaji ... namun beliau tak lupa mengirimkan beberapa lembar ratus ribu untuk kebutuhan Eli dan Ali. Namun sudah hampir enam bulan terakhir ini, ibunya tak pernah lagi mengirimkan uang pada Eli. Sementara di media TV yang sering Eli lihat dari rumah tetangganya saat mengambil kue-kue dagangan, banyak mengabarkan berita adanya TKW yang meninggal karena penyiksaan majikan. Eli sudah tak peduli lagi, jika pun sang ibu masih hidup, mungkin kemewahan di sana yang membuatnya lupa pada nasibnya dan Ali. Dan jikapun sudah meninggal, Eli hanya bisa berdoa, semoga dosa-dosanya diampuni Tuhan.

"Mbak." Suara Ali terdengar makin lirih, wajahnya pucat.

"Astaga! Badanmu panas sekali, Al." Eli bingung, ia tak tahu harus berbuat apa pada adiknya yang kini berbaring lemas di kedua paha Eli. Eli mendekap semakin erat tubuh kecil itu, Eli berharap ... kehangatan dapat membuat Ali lebih merasa nyaman. Namun Eli tak menyadari, bahwa pelukan eratnya justru membuat Ali susah bernapas.

"Pak, El kangen sama Bapak. Apakah kehidupan Bapak di surga yang baru, lebih nyaman dari surga yang telah Bapak tinggalkan? Jika iya, El pingin ke sana. El pingin banget ketemu sama Bapak. El sudah tidak kuat, Pak." Eli memeluk batu nisan bapaknya dengan lembut, sesekali ia menangis sesenggukan ketika menceritakan segala beban berat kehidupannya selama ini, lalu tiba-tiba tertawa ketika Eli sedang bercerita tentang masa kecilnya bersama sang bapak.

Angin senja berhembus sangat lembut, hanya beberapa helai daun kamboja yang telah menguning--jatuh tepat di depan Eli. Barangkali seperti itulah kehidupan manusia, akan ada saatnya ia gugur dan kembali pada tanah.

Eli mengusap sisa gerimis di sudut kedua matanya yang sudah bengkak dan memerah, mata sipit peninggalan sang kakek itu pun semakin mengecil. Siapa yang menyangka, seorang bocah perempuan yang tumbuh dari keluarga miskin, yang kini sudah menginjak masa remaja itu, memiliki perjalanan kehidupan yang sangat berat.

Sejurus pandangan Eli kembali menatap pada batu nisan di depannya, lalu berbisik lirih di sebelah ukiran nama bapak Eli yang masih dapat terbaca dengan jelas. "Pak, Eli akan datang. Dan kita akan berkumpul lagi, ada Bapak, ibu, dan dik Ali. Semoga surga yang kita tinggalkan tak pernah membenci segala kisah di dalamnya."

Jember, 23 September 2015



Rabu, 16 September 2015

TIMMY OH TIMMY

"Trus gue harus bilang wow gitcyuu? Ya ampyunnnn, sorry mayori donal bebek tenggelam di kali duehhh. Yey itu harus terus terang, terang terus sampai pageee berkale-kale buat jujur ama doi. Kalau begindang teyus, mau ampe keriting jari atas bawah yey, ups! Yey kan awewe, mana punya jari bawah. Huhuhu. Sorry keblabasan, yey gak bakal bisa tenang," cerocos Timmy tanpa henti, sudah seperti kereta api yang lupa menggunakan rem.

Kadang aku suka bete bertubi-tubi kalau dengar ocehannya Timmy. Bisa-bisa dari zamannya Pak Soekarno sampai Ganteng Ganteng Serigala bisa nyangkut di lidahnya. Tapi kupikir-pikir, memang ada benarnya juga kata Timmy. Aku gak mungkin memendam perasaan ini terus menerus, bisa tumbuh singkong di atas kepalaku nanti.

"Iyuuhh, kebiasaan deh yey. Kalau eike lagi ngomong mesti ditinggal bengong." Timmy memasang wajah cemberut, udah persis sama wajahnya Aziz Gagap pas lagi dandan ala rempong. Aku tersenyum geli melihatnya.

"Lu bantuin gue, dong. Kan lu tahu gue cewek, masak nembak duluan," belaku mengendorkan senyum, sambil merebahkan kepala pada sebuah bantal berwarna ungu yang sedari tadi menggodaku. Pandanganku menerawang menembus langit-langit kamar yang remang. Sementara di luar, hujan masih bertahan. Suara-suara gemericik air jatuhnya terdengar hingga ke dalam ruangan; ah, gentingku yang bocor.

"Burung keles, nembak. Dor! Mati dong? Hihihi." Gigi berkawat 24 karatnya Timmy nampak berjajar rapi, bak jeruji-jeruji besi para napi pelaku korupsi.

Kadang aku suka heran, kapan dan di mana aku nemuin makhluk aneh bin langka kayak Timmy ya? Tak sesadar itukah aku kala itu memungutnya dan menjadikannya sahabat? Tapi bukankah sahabat yang benar-benar sahabat itu, adalah mereka yang ada tak hanya ketika kita membutuhkan bantuannya saja? Dan Timmy lebih daripada sekadar itu.

Mungkin aku punya ratusan teman yang mengatakan mereka teman di depanku, tapi tidak di belakangku. Banyak orang yang tak kita tahu isi akan kepala dan hatinya. Di balik semua kekurangan serta keanehan yang Timmy miliki, dia adalah sahabat sejati. Aku tak peduli pandangan mereka, dan seburuk apa Timmy bagi mereka. Toh, baik itu dari hati bukan?

"Gue ciyus keles, Tim!" Kutopang dagu dengan kedua tanganku, lalu mengalihkan pandanganku menembus bingkai kaca jendela yang berada di depanku. Kaca bagian luarnya sudah basah, rupanya hujan turun dengan begitu derasnya. Andai di dalam hujan aku dapat merobohkan keraguan, sudah sejak tadi aku akan bermain hujan seharian.

"Ya udehhh, sebagai sahabat elu yang paling baik, sopan santun, suka menolong, dan suka dipuji," ucap Timmy dengan gaya iyuhnya yang enggak banget. "Besok gue bantu elu, tapeeeeeee ... elu mesti ngikut skenario gue."

Kuangkat alisku tanda was-was dan curiga, takut ada gempa susulan setelah hujan seharian. Dan akhirnya, dengan sepasang kaki kuda-kuda kuiyakan skenarionya Timmy. Dan, bismillah!

***
"Kok lu tega sih ama gue, Tim? Lu tuh udah gue anggap lebih dari sekedar sodara tau. Tapi kenapa ...." Kalimatku terasa terhambat di dalam rongga, lalu keselek biji durian sebelum menikmati buahnya. Kesiksa banget. Pingin dimuntahin berat, ditelan sesak. Oh ....

Timmy menggenggam kedua bahuku, kedua matanya sudah nampak merah. Lalu rerintik hujan kemarin sore tiba-tiba jatuh dari sudut matanya yang memakai bulu mata palsu. "Sorry ye, Cin. Gue kilap, tapi semua ini demi elu. Sumpah takewer-kewer deh, berani disambar petir, eh ... jangan dong! Mati dong eike. Maksud eike, doi gak pantas ama elu."

"Terus pantesnya ama elu, gitu?" Kulepas genggaman tangan Timmy di bahuku, dan membalikkan badan membelakanginya. Namun dengan cepat wajah Timmy sudah berada di depanku. Aku membalikkan badanku lagi dan membelakanginya, namun dengan sangat cepat dia sudah ada di depanku lagi. Dan ....

"Ci luk ba!"

"Gak lucu!" teriakku memalingkan wajah.

Tanpa kusadari, sesosok pria yang berpenampilan maskulin dengan wangi parfum yang, ah! Berdiri di antara aku dan Timmy. Aku mengenal pria itu, meski tak begitu kenal. Pria itu berjalan mendekati Timmy, lalu mengalihkan pandangannya menatapku.

"Sorry Al, gue lebih milih Timmy dari elu. Semoga elu bisa dapetin cowok yang lebih macho dari gue," ucap pria itu yang kemudian tersenyum menatap Timmy. "Bener gak, Cin?" Tiba-tiba suara macho pria tadi, berubah lembek kayak kerupuk yang tersiram air, dan ... glek! Aku jadi membutuhkan napas buatan, eh ... segelas coklat panas agar segera bangun dari rasa mual dan sesak napas.

Jember, 17 September 2015


Sabtu, 05 September 2015

RANJANG HUJAN

Ini sisa bibirku, Sayang!
Yang semalaman lupa tak kau tenggak 
-habiskan. 
Lalu gelas-gelas mabuk
Di sepertiga anggur kita terguyur
Wanginya : neraka, di ujung napas kita
-lupa surga.

Surga lupa neraka.
Lupa?
   Lupakah...

Ini sisa tubuhku, Sayang!
Di bawah ranjang-ranjang hujan
-kenangan.
Lalu puisi-puisi bertelanjang
Napas saling memburu, diksi
-tergagu.

Aku ingin bertemu kamu, Sayang! 
Serupa dua ombak yang bergulung-gulung 
-menampar karang. Katamu.

Ombak pun pecah!
Pecah,
Pecah?

Ini! Jangan sisakan lagi, Sayang!

Jember, 4 September 2015


HUJAN SEMALAM?

Kendi itu belum penuh; tak penuh-penuh
Padahal hujan turun semalam-malam
Adakah berlubang pantatnya?
Atau bocor pada mulutnya?
Semut-semut saling berbisik
Mengumpat ikan patah sirip
Sementara katak hanya lompat-lompat
Hanya?
Lompat-lompat....

Kendi itu tak penuh-penuh
-meski hujan berlama-lama...
Berlama-lama?
;penuh


Jember, 5 September 2015


Jumat, 04 September 2015

KUCING DI DEPAN PINTU, 2

Apakah kau dengar?
Apakah? 
    Kau dengar... 

Kucing itu tak lagi mengeong
;suaranya kering
Tenggorokannya habis
Cakarnya patah, patah-patah
-di depan pintu.

Daun-daun gugur di sampingnya. Berkata lirih-
Pergilah kucing malang! Angin akan datang
Kau pun kedinginan. Kucing terdiam.

Kucing itu tak lagi mengeong
;perutnya mengantuk
Kedua matanya kelaparan. Di depan pintu


Masihkah kau dengar?
Masihkah?
    Kau dengar...

Kucing itu tak lagi mengeong
Bulunya basah, ekornya gelisah
Hujan pun turun--deras. Kucing mencakar,
-cakar.

Mengeong,
   Mengeong,
      Mengeong....

Tanpa suara, ;mata terpejam!

Mawar menangis layu, melati
-bersimpuh di depan pintu.

Tuan,
  Tuanku....

Kucingmu telah beku
Beku!
Di depan pintu
Ia masih menunggu....

Bolehkah kucing masuk sekali lagi?

Jember, 4 September 2015






KUCING DI DEPAN PINTU

Kucing mungil itu terus mengeong di depan pintu,
tanpa berani mengetuk--mencakar lembut daun
pintu. Suaranya jelas ;agak lirih takut mengganggu.
Ada yang ditunggu.

Mawar di sebelahnya menggoda, kucing malang
Tuanmu telah lupa. Kucing terdiam.

Kucing itu terus mengeong di depan pintu,
;mencakar-cakar lembut daun pintu.
Kembali terdiam, melati di sebelahnya mencibir
lagi. Hai kucing malang, Tuanmu tak lagi peduli
padamu. Kucing terdiam.

Kucing itu terus mengeong di depan pintu
;tanpa suara dan cakaran lembut di daun pintu.
Ia menunggu, sesuatu.

Tuan,
   Tuan, 
      Tuanku...
Adakah kucing malang ini harus pergi?
Sementara kunci kedua kaki kucing malang ini,
pada Tuan tersembunyi 

Kucing itu terus mengeong di depan pintu

Tuan,
   Tuan,
      Tuanku...
Boleh kucing masuk sekali lagi?


Jember, 4 September 2015

Kamis, 03 September 2015

KARENA ENGKAU, SURGAKU


#1995

"Selamat pagi, Ayra!"

"Selamat pagi."

"Mau berangkat kerja?"

"Iya."

"Mas antar ya!"

"Terima kasih. Saya bisa naik angkot."

"Kebetulan arah tujuan kita sama, jika tidak keberatan."


#1999

"Seperti yang engkau katakan tahun lalu, jika rasaku kepadamu karena ingin mendapat ridho dari Ilahi, maka hari ini, aku telah menepati kata-kataku bahwa aku mencintaimu demi Tuhanku, dan aku ingin mensucikan cinta ini pada ikatan suci. Maukah engkau menikah denganku?"

"Dan aku menerima cintamu karena Tuhanku."

"Aku berjanji, akan menjadi suami dan kepala keluarga yang akan selalu membuatmu bahagia."

"Bawalah kedua orang tuamu menghadap keluargaku!"


#2008

"Maafkan aku ya, Sayang. Gara-gara aku di PHK dari kantor, kini engkau harus ikut menanggung akibatnya. Aku berjanji, semua ini takkan lama. Besok aku dapat panggilan ke luar kota, semoga pekerjaanku yang baru akan jauh lebih baik."

"Ndak pa-pa, Mas. Karena ini sudah kewajibanku, mengabdikan hidupku padamu-suamiku. Amin."

"Sekolah anak-anak bagaimana?"

"Saya sudah melunasinya dengan uang bayaran kerja di tokonya Bu Astuti. Alhamdulillah cukup, Mas."

"Terima kasih ya, Sayang."

#2012

"Kamu tak marah?"

"Jika Tuhan mengizinkan, kenapa aku harus marah? Mas adalah suamiku, tentunya segala sesuatu yang hendak Mas lakukan... sudah Mas pikirkan baik-baik untuk saya, dan anak-anak kita tentunya."

"Engkau tak sakit hati?"

"....."

"Aku tau, kedua matamu tak bisa membohongiku. Maafkan aku, Sayang. Tapi aku juga mencintainya, aku tak ingin rasa ini justru membawa pada laknat Tuhan, untuk itu aku memutuskan untuk menikahinya."

"....."

"Tolong beri pengertian pada anak-anak ya, Sayang."


#2015

"Maafkan aku, Sayang. Aku telah bangkrut. Wanita yang kucintai ternyata menipuku, hanya menginginkan hartaku."

"....."

"Harusnya aku tak membelakangimu, bermain cinta dengan wanita lain yang hanya pura-pura. Sementara di sampingku, aku sudah memiliki wanita sempurna, seorang istri yang luar biasa. Maafkan aku, Sayang."

"Aku selalu memaafkanmu, Mas."

"Aku lelaki dan suami yang tak berguna, bahkan menyia-nyiakan orang yang sudah setia menerima kekuranganku apa adanya. Terima kasih, Sayang. Terima kasih. Semoga masih ada kesempatan untukku membahagiakanmu."

"Aku sudah bahagia, Mas. Mencintai, dan berbakti padamu adalah sebuah kebahagiaan untukku. Karena engkau adalah surgaku."

Jember, 30 Agustus 2015