SURGA YANG DITINGGALKAN
Genre ; Kehidupan Sosial
"Mbak, kapan ibu pulang?" Mata Eliana kembali memerah, setiap kali Ali, adik satu-satunya yang berumur lima tahun menanyakan hal yang sama. Tenggorokan Eli seakan kering, harus menyusun kebohongan apalagi untuk membuat adiknya mengerti.
"Sabar ya, Al. Mbak sudah kirim surat untuk ibu. Semoga lebaran nanti ibu bisa pulang." Dan hampir saja butiran bening itu jatuh di kedua sudut mata Eli, sapaan gadis bermata sipit yang menurun dari kakeknya--keturunan orang China.
Langit-langit rumah yang berukuran tak lebih besar dari kandang sapi milik tetangga itu, sudah terlihat begitu rapuh. Dan bisa saja, angin yang tiba-tiba datang dengan skala sedikit lebih kencang akan mampu merobohkan surga kecil yang sudah terlupakan oleh sebagian penghuninya.
Eli memejamkan kedua mata sayunya, memeluk tubuh kecil Al yang mendekap manja pada dirinya. Segala beban yang terus menghujani seisi dada dan kepala Eli, seakan semakin mencabik-cabik benteng pertahanannya. Sudah sejak lama Eli ingin menyerah, jika bukan karena Al yang masih membutuhkannya, mungkin saat ini Eli sudah bahagia bersama bapaknya di surga.
"Mbak, Al lapar." Ali mendongak, mencoba meraih kedua mata Eli yang sudah banjir.
Eli semakin mempererat dekapannya di tubuh sang adik, sementara mata Eli tak henti menghujani kedua pipi kurusnya dengan air mata yang begitu mengerti dengan segala beban kehidupan Eli.
"Sebentar lagi kita akan makan, Al." Eli melirik pada ruangan dapur yang hanya dibatasi dengan sebuah kain kusam dan kotor berwarna kecoklatan di depannya. Eli ingat, kain itu dulu berwarna kuning, warna kesukaan Eli. Namun entah kenapa, warna itu bukan memudar menjadi putih atau krem, tapi malah menjadi kecoklatan dan bahkan hampir hitam.
Dulu, dulu sekali. Di dalam ruangan kecil itu segala kisah pernah terpahat. Dari sebuah kepulan asap yang begitu harum di penciuman Eli, selalu dapat membuatnya terbangun pagi untuk membantu sang ibu. Meski lauk yang disediakan begitu sederhana, namun kebahagiaan Eli ketika itu terasa sempurna. Seorang bapak yang sangat mencintai keluarga, serta ibu yang masih terlihat sangat cantik meski hanya menggelung rambut panjangnya begitu saja. Namun kini ruangan kecil itu hanya menyisakan pengap dan sesak, karena jangankan untuk memasak, bahkan tumang yang dulu biasa digunakan sang ibu menanak nasi sudah hancur, sebagian batu batanya sudah menjadi kepingan-kepingan yang tak berbentuk lagi.
"Bapak boleh ya Buk, untuk merantau? Lagipula setahun sekali bapak bisa pulang, daripada kerja serabutan di sini, hasilnya udah ndak mencukupi. Apalagi Eli sebentar lagi udah masuk SD to?"
Eli menyesal kenapa harus mengizinkan sang bapak untuk pergi merantau meninggalkannya dengan sang ibu. Ketika itu, Eli tak pernah berpikir akan seberat ini kehidupannya, tanpa bapak, tanpa ibu ... dan harus menanggung segala kebutuhan Ali.
Di tahun-tahun pertama, kehidupan keluarga Eli sudah mulai membaik. Setiap pagi, Eli sudah bisa merasakan daging ayam yang ibunya beli dari hasil kiriman sang bapak. Dulu, jangankan setiap pagi ... sebulan sekali saja belum tentu bisa, jika bukan karena ada tetangga yang sedang ada acara hajatan.
Rupanya kecantikan sang ibu serta kesendiriannya ditinggal suami merantau jauh, membuat wanita yang hampir tak pernah bersolek itu sering merasa kesepian. Eli tak ingat dari mana semua bermula, laki-laki berambut agak gondrong dengan tindik di telinga kiri ... begitu sering datang ke rumahnya. Atau bahkan sang ibu seringkali tak berada di rumah sepulang Eli dari sekolah. Lalu pulang pada malam harinya, dengan membawakan sebungkus mi ayam kesukaan Eli. Eli tak berani bertanya pada sang ibu, dan Eli juga tak berani mengatakannya kepada bapak ketika beliau pulang.
Semua seperti baik-baik saja, semua seperti tak pernah terjadi sesuatu di rumah itu. Tentang ibu Eli dengan laki-laki bertindik yang hampir setiap hari datang kerumahnya, atau juga tentang sikap sang ibu pada bapak Eli. Semua terlihat sama, kemesraan mereka, canda tawa, serta tak ada tanda-tanda sebuah pertengkaran sekecil apapun di rumah Eli.
"Eli jaga ibu baik-baik ya, Nduk. Mungkin tahun depan bapak akan telat pulangnya. Kebetulan bapak dapat proyek lebih besar, insyaallah ... sepulang nanti, bapak akan membangun surga kecil kita ini menjadi surga yang akan membuat ibumu dan kamu nyaman." ucap bapak Eli pagi itu, sambil menyiapkan barang bawaannya yang akan dibawa dalam perantauan. Seperti tembakau khas Jawa, atau kopi hasil racikan tangan sang ibu. Namun kali ini ibu Elu enggan meracik kopi itu sendiri, dengan alasan tangannya sedang sakit sehabis keseleo ketika menimba air di sumur belakang. Eli tahu itu hanya alasan sang ibu saja, tapi Eli hanya diam.
"Bapak janji akan pulang tahun depan kan? Eli pingin saat kelulusan nanti, bapak yang ambil ijazah Eli." Eli menatap wajah sang bapak yang kini terlihat jauh lebih tua dari sebelum memutuskan untuk pergi merantau. Telapak tangan bapak Eli juga terasa begitu kasar dari yang dulu, bahkan beberapa helai rambutnya sudah terlihat berganti warna--putih. Hanya satu yang dirasakan Eli tak pernah berubah dari bapaknya, yaitu senyum. Senyum yang selalu hangat memeluk tubuh Eli yang sangat menyayanginya.
Manusia memang tak pernah tahu perihal takdir, rezeki dan bahkan kematian yang kapan saja bisa menghampiri manusia. Eli pun tak pernah menyangka, pesan yang bapaknya sampaikan waktu itu ... adalah pesan terakhir untuk dirinya. Senyum yang terukir begitu indah kala itu, adalah senyum perpisahan, bahwa hidup akan ada waktunya untuk kembali kepada Sang Pencipta. Sebuah kepastian yang memang sudah digariskan.
"Kenapa bapakku yang orang baik harus meninggal dengan cara yang begitu tragis." Isak tangis Eli tak percaya.
Pak Handoko, tetangga Eli sekaligus orang yang dulu mengajak bapaknya untuk merantau tiba-tiba datang ke rumahnya dan memberitahukan sebuah kabar, bahwa sang bapak mengalami kecelakaan, terjatuh dari atas gedung yang sedang digarapnya. Dan meninggal di tempat kejadian.
"Mbak, Al lapar." Rengekan Ali membuat Eli tersadar dari lamunan yang sudah jauh menembus masa lalunya. Eli tersenyum, tangan kanannya mengusap lembut kepala Ali.
Harusnya kamu tak pernah ada dalam kehidupan surgaku, Al. Kenapa kamu tak ikut mati bersama bapakmu, yang tak lebih hanya seorang laki-laki penghancur mimpi seorang bocah yang dibuatnya menjadi yatim. Bocah yang harus menanggung kehidupan yang tak pernah terbayang sebelumnya, serta memendam segala kepedihan tanpa seorang pun yang peduli.
Laki-laki berambut gondrong yang hingga saat ini Eli enggan menyebut namanya itu, diperkenalkan oleh sang ibu sebagai bapak barunya, tepat di hari ke empat puluh meninggalnya sang bapak. Sebegitu mudahnyakah cinta ibu terkubur tanpa sebuah penyesalan atas kepergian bapak? Namun Tuhan selalu adil bukan? Tepat di hari kelahiran Ali, adik yang sama sekali tak Eli harapkan kehadirannya, laki-laki gondrong dan bertatto itu ... mati tertembak peluru polisi yang menembus dadanya. Seorang anggota perampok bank tidak akan pernah pantas untuk kupanggil bapak. Seru Eli.
Eli segera menghapus segala bayangan atas kebenciannya pada wajah polos Ali yang kini menatapnya penuh pengharapan. Eli sadar, tak ada gunanya ia memendam segala dendam atas kehancuran surganya bersama sang bapak dan ibu. Karena Ali juga sebagai korban atas keegoisan dari orang-orang yang seharusnya menjaga dan merawatnya. Andai ibunya bisa sedikit menahan segala nafsu hatinya, mungkin semua ini juga takkan pernah terjadi.
Semenjak bapak Eli meninggal, kehidupan Eli sangat berubah. Laki-laki penghancur itu hanya bisa makan, tidur, atau minum-minum di rumah. Apalagi dengan keadaan sang ibu yang tengah hamil. Dan pada akhirnya, Eli harus mengubur keinginannya untuk sekolah di bangku SMP, dan menelan kenyataan bahwa kini ia ikut berjuang dalam mempertahankan hidup. Eli senang dengan kematian laki-laki tak bertanggungjawab itu, yang kerjaannya hanya bisa menyusahkan saja.
Beban kehidupan Eli bersama sang ibu, lambat laun juga mengalami perubahan yang drastis. Terlebih Ali yang masih bayi. Jangankan untuk membeli susu, untuk makan sehari-hari saja, Eli harus seharian berjalan menembus terik yang membakar telapak kakinya yang telanjang, sambil menjajakan kue-kue gorengan milik tetangga.
"Kamu jaga Ali ya, El. Ibu dapat tawaran untuk kerja di luar negeri."
Andai Eli mampu berontak, ingin ia teriak dan menentang keinginan ibunya. Bagaimana bisa, seorang bocah berumur lima belas tahun dapat mengurus seorang bocah empat tahun sendirian? Namun lagi-lagi, pemberontakan Eli hanya tersangkut dalam rongganya saja. Eli tak dapat membantah apa yang dikatakan oleh ibunya.
Tahun pertama semuanya berjalan lancar, meski sang ibu masih dalam masa potongan gaji ... namun beliau tak lupa mengirimkan beberapa lembar ratus ribu untuk kebutuhan Eli dan Ali. Namun sudah hampir enam bulan terakhir ini, ibunya tak pernah lagi mengirimkan uang pada Eli. Sementara di media TV yang sering Eli lihat dari rumah tetangganya saat mengambil kue-kue dagangan, banyak mengabarkan berita adanya TKW yang meninggal karena penyiksaan majikan. Eli sudah tak peduli lagi, jika pun sang ibu masih hidup, mungkin kemewahan di sana yang membuatnya lupa pada nasibnya dan Ali. Dan jikapun sudah meninggal, Eli hanya bisa berdoa, semoga dosa-dosanya diampuni Tuhan.
"Mbak." Suara Ali terdengar makin lirih, wajahnya pucat.
"Astaga! Badanmu panas sekali, Al." Eli bingung, ia tak tahu harus berbuat apa pada adiknya yang kini berbaring lemas di kedua paha Eli. Eli mendekap semakin erat tubuh kecil itu, Eli berharap ... kehangatan dapat membuat Ali lebih merasa nyaman. Namun Eli tak menyadari, bahwa pelukan eratnya justru membuat Ali susah bernapas.
"Pak, El kangen sama Bapak. Apakah kehidupan Bapak di surga yang baru, lebih nyaman dari surga yang telah Bapak tinggalkan? Jika iya, El pingin ke sana. El pingin banget ketemu sama Bapak. El sudah tidak kuat, Pak." Eli memeluk batu nisan bapaknya dengan lembut, sesekali ia menangis sesenggukan ketika menceritakan segala beban berat kehidupannya selama ini, lalu tiba-tiba tertawa ketika Eli sedang bercerita tentang masa kecilnya bersama sang bapak.
Angin senja berhembus sangat lembut, hanya beberapa helai daun kamboja yang telah menguning--jatuh tepat di depan Eli. Barangkali seperti itulah kehidupan manusia, akan ada saatnya ia gugur dan kembali pada tanah.
Eli mengusap sisa gerimis di sudut kedua matanya yang sudah bengkak dan memerah, mata sipit peninggalan sang kakek itu pun semakin mengecil. Siapa yang menyangka, seorang bocah perempuan yang tumbuh dari keluarga miskin, yang kini sudah menginjak masa remaja itu, memiliki perjalanan kehidupan yang sangat berat.
Sejurus pandangan Eli kembali menatap pada batu nisan di depannya, lalu berbisik lirih di sebelah ukiran nama bapak Eli yang masih dapat terbaca dengan jelas. "Pak, Eli akan datang. Dan kita akan berkumpul lagi, ada Bapak, ibu, dan dik Ali. Semoga surga yang kita tinggalkan tak pernah membenci segala kisah di dalamnya."
Jember, 23 September 2015