Sabtu, 10 Januari 2015

Tunggulah Aku!

Tak dapat kusembunyikan tangisku senja itu, maafkan aku sayang! Kali ini aku harus benar-benar pergi. Erat dia mendekap tubuhku, lirih berbisik di telingaku. 

"Dek, tak dapatkah kamu batalkan kepergianmu? Aku butuh kamu, bahkan kamu tau kondisiku semakin menurun," bisiknya meluruhkan dadaku. 

"Aku tak bisa membatalkan perjanjian ini, Mas! Bagaimanapun juga aku tetap harus berangkat. Maafkan aku, Mas!" ujarku dalam isak tangisku. 

"Dek! Jika kamu tetap berangkat, barangkali nanti saat kamu pulang, kamu takkan bisa menemuiku lagi. Barangkali saat itu, aku sudah mati," kian deras air mataku mengaliri wajah senduku. 

"Maka beri aku satu alasan, sebuah keyakinan, bahwa kelak engkau akan menungguku pulang, dan menjadi orang pertama yang aku lihat ketika kembali ke tanah air! Berjanjilah padaku, jaga dirimu baik-baik, serupa aku akan janji padamu, bahwa aku akan menjaga hati dan cintaku untukmu. Bertahanlah demi aku, demi menungguku. Demi cinta!" erat ku memeluknya. Hingga suara Bu Ida mengagetkanku. 

"Ra, waktunya sudah habis. Sekarang kita masuk ya! Sebentar lagi pesawatnya akan berangkat." 

"Adek berangkat, Mas!" kucium tangannya dengan lembut. Lalu kubalikkan badanku, dan segera kulangkahkan kaki meninggalkannya. 

"Tuhan, jaga dia untukku!" doa dalam pintaku.

 Zahra