Kamis, 29 Oktober 2015

Cermin

OH, PENYAIR

"Pokoknya bapak ndak setuju kamu pacaran sama penyair!" bentak bapak sambil melempar koran ke atas meja di depannya.

"Tapi kenapa, Pak? Penyair itu jujur, mereka selalu mengungkapkan segala isi hatinya lewat puisi, syair, sajak yang indah dibaca, Pak. Bahkan ketika mereka sedang terluka sekalipun," belaku meyakinkan bapak.

"Sekali ndak ya ndak!" Bapak bersikeras mempertahankan argumennya.

"Apa bapak mau punya menantu dewan rakyat tapi ujung-ujungnya korupsi?" tambahku, berusaha mencari persetujuan atas pilihanku pada bapak.

"Tapi, Nduk ...."

"Pak, ini tentang hati. Tentang masa depan yang kelak aku jalani. Bapak senang kan kalau lihat hidupku bahagia?" ucapku dramatis.

"Orang tua mana sih Nduk yang ndak senang lihat anaknya hidup bahagia, tapi ...."

"Bapak cukup beri restu pada hubungan kami, insyaallah ... dia laki-laki bertanggungjawab, Pak!"

"Ya sudah, sebaiknya kamu lihat sendiri di belakang rumah," ujar bapak lesu.

Tanpa aba-aba lagi, aku segera melangkah menuju ke arah yang bapak tunjukkan. Sontak mataku melotot melihat apa  yang sedang terjadi di belakang rumah.

"Itulah Nduk yang membuat bapak ndak setuju," kata bapak di sebelahku. "Saking jujurnya, ibukmu juga dipuisikan."

#vee, 2015

Cermin

#Cermin

MAKAM PANAS

Tubuh terbalut kafan itu tiba-tiba terbangun, dan sontak mengagetkan para kerabat juga tetangga yang bersiap mengebumikannya. Keanehan kian mencekam, kala kedua mata sosok yang berada di buntalan putih tersebut terbuka, pandangannya menyapu wajah-wajah yang berdiri gugup di sekelilingnya. Mulutnya terlihat bergetar-getar, seperti sedang ingin mengucapkan sesuatu namun suaranya tersumbat di rongga.

"Subhanallah!" teriak beberapa warga.

Tak ada yang berani mendekati jenazah yang tiba-tiba bangun kembali itu. Bahkan istri jenazah tersebut sempat menangis sebelum akhirnya jatuh pingsan.

"Sepertinya kuburnya panas, Pak!" ucap salah satu pemuda.

Namun tiba-tiba mayat tersebut menoleh ke pemuda itu, dan- "panas? Ademkan dengan Adem Sari!"

#Vee, 2015

Cerita Mini

#Cermin

DILEMA PERJODOHAN

Suasana cafe Aborigin malam ini nampak sepi. Entah kenapa, pemilik cafe yang asli keturunan orang Jawa tulen ini, bisa-bisanya memberi nama suku dari Australia. Bahkan jenis makanan yang dijual pun bukan makanan khas Australia, masih sekitar nasi pecel dan ikan asin juga. Tapi justru berawal dari nama yang tak biasa ini, cafe cukup ramai pengunjung, terlebih di hari sabtu malam.

Sebagai seorang jomblo sejati, gue, Ical, dan Elon tak pernah mempunyai istilah malam minggu, yang ada sabtu malam. Namun di malam Jumat ini, cafe hanya dihuni beberapa ekor kepala saja, termasuk gue, dan dua sahabat gue ini.

"Lu napa sih, Cal, mukanya kusut banget? Masih mikir soal ujian kimia tadi ya?" tanyaku sambil mengaduk-aduk sisa es teh manis yang tinggal separuh.

"Gue aja kagak bingung soal ujian tadi," timpal Elon santai.

"Yaiyalah elu kagak bingung, orang elu kan pakai contekan."

Elon hanya cengengesan mendengar ucapanku. Dan memang benar, Elon yang memiliki rambut asli kribo mirip tarangan ayam yang mau bertelur itu ... dengan mudahnya menyelipkan kertas contekan di dalam rambutnya dengan aman dan selamat hingga tujuan.

"Hehe, gue gitu lo," jawab Elon sambil mengelus-elus rambut kebanggaannya.

"Bukan itu, Guys. Gue lagi bete," jawab Ical lirih.

"Lu ada masalah apa, Cal?" tanyaku dan Elon bersamaan.

Ical menarik napasnya berat, lalu mengeluarkannya perlahan. Tak biasanya, Ical yang selalu riang dengan ide-ide gilanya ... malam ini seperti balon yang tertusuk jarum kondenya Mbok Juminten--penjual jamu keliling tempat kost yang hobby nyinden itu--kian lama kian kempes.

"Pernah kebayang gak sih, kita bertiga punya pacar terus nge-date bareng sambil nikmatin nasi rawon terkenal dari cafe ini? Pasti bakal seru banget."

Gue dan Elon saling pandang, lalu dengan gerakan cepat ... tangan kanan Elon sudah berpindah di atas kening Ical.

"Lu kagak panas kok, Cal," ucap Elon.

"Teman mami gue, yang seorang konglomerat juragan tebu se-indonesia raya tercinta ini ... mau jodohin gue ama anaknya," tambah Ical lemas.

Gue dan Elon saling pandang lagi.

"Wah, keren itu, Cal. Kan siapa tahu, idup lu bisa terangkat jadi konglomerat juga. Yah ... masa sahabat-sahabat lu yang kece ini kagak keangkat juga, ya gak Lon?" selorohku sambil mainin mata naik turun ke arah Elon.

"Gue setuju tuh. Siapa tahu juga, cewek lu itu punya temen cewek yang konglomerat juga, maksudnya itu buat gue ama Jojo," tambah Elon.

"Tapi bokap gue gak setuju dengan perjodohan ini." Ical membenamkan wajahnya di atas meja.

"Kenapa?" tanyaku dan Elon bersamaan.

"Anak temen mami gue itu cowok keleus, masa gue mesti pedang-pedangan."

Gue dan Elon saling lempar pandang.

#Vee, 2015

Minggu, 11 Oktober 2015

Sajak

MASIH HUJAN
;di sini!

Masih hujan. Di sini!
Suara gemericik berisik
di atap rumah. Ku-
belum ketiduran.
Ibu memaksa
menina bobo elus-elus mata
"Pejamlah! Oh, nina
tidurlah!"

Ini hujan
Jatuh dari lubang
Langit kebocoran. Tiktik;
Tik!
Tik!
Tik!
Di atas mata. Ku-
belum ketiduran.
Di sini, masih sore
masih hujan
masih kamu
Kamu!
Hujan!
Di sini!

Hujan kamu di sini
;masih!

#vee, 2015

Sabtu, 10 Oktober 2015

Cermin tema persahabatan

BERBAGI SURGA


Pintu terbuka, sesosok wanita dengan gaun cantiknya ... berdiri di sebelah Mas Agus. Selendang panjang berwarna biru muda, terlihat begitu indah menghiasi kepala wanita itu yang menundukkan kepala.

Namanya Retno, sahabat sekolahku ketika SMA. Hubungan kami sudah seperti saudara, namun karena pekerjaan ayah Retno yang pindah tugas di luar kota, kami pun berpisah. Dan sudah hampir delapan tahun kami tak bertemu, bahkan tidak tahu kabar masing-masing.

Aku tersenyum menatap wajah Retno yang terlihat makin dewasa dan cantik. Mas Agus tak salah memilih, gumamku dalam hati.

"Mari masuk," tawarku sopan.

"Sit, maafkan aku. Aku tak tahu kalau ...."

"Mas Agus sudah menceritakan semuanya padaku," potongku, ketika kami sudah duduk di atas sofa ruang tamu. "Awalnya aku memang tak setuju. Tidak ada istri yang ingin membagi hati suaminya dengan wanita lain. Tapi aku juga sadar, apa artinya keluarga jika tak bisa memberikan keturunan."

"Maksudmu apa, Sit?"

"Aku mandul, Retno. Barangkali itu adalah satu-satunya alasan yang menguatkanku untuk berbagi. Dan saat pertama kali aku mengetahui bahwa maduku adalah kamu, aku setuju. Setidaknya pilihan Mas Agus tak salah. Aku bahagia bisa berbagi kebahagiaan dengan sahabatku sendiri yang sudah sangat kurindu."

Retno memelukku, "Terima kasih, Sit."

Aku teringat saat terakhir kami berpisah di bandara Juanda delapan tahun yang lalu. Tak jauh berbeda dengan keadaan saat ini, air mata kami tumpah. Dulu kami berjanji untuk saling menukar kabar, tapi lambat laun kesibukan memisahkan kami. Hingga pada detik ini, kami kembali saling memeluk, saling menangis, hanya bedanya tangisan ini bukan sebuah kesedihan karena perpisahan, namun awal kehidupan baru dalam satu surga.

Dengan lembut, Mas Agus merangkul kami berdua.

"Eittss, Mas Agus gak boleh ya! Belum muhrim," ucapku melirik Mas Agus. Kami bertiga pun tertawa.

Ya Allah, karena-Mu hamba berbagi, dan karena-Mu hamba ikhlas. Maka, berkahkanlah surga kecil kami dengan kerukunan. Amin.

Jember, 11-10-2015