Kamis, 18 Desember 2014

Seutas kenang

Aku tak pernah menyalahkan waktu, ketika ia mempertemukan aku dan kamu, dalam kita. Berbagi tawa pada keheningan malam, tempat kita meracik cerita yang terbungkus dalam canda. Tentang rasa, tentang cinta yang ada. Ada dan nyata. Hingga pada sebuah ketika, problema merengkuh rasa kita. Tegas ambisi begitu kuat mendekap nalarku, akanmu. Dan bukan pada mata pun telinga yang terbuta di ketulian logika, namun hati terperangkap dalam fatamorgana cinta.

"Aku sayang kamu, Kak!" ujarku waktu itu, diantara peluh mata yang menyungai ke dasar jiwa, "aku takkan sanggup tanpamu, bukankah kita pernah berjanji untuk selalu bersama, hingga salah satu di antara kita tiada!" pekikku, membuatmu kembali arahkan tubuhku merebah pada sebidang datar dadamu.

Kuterdiam dalam pelukanmu, menahan isak tangis yang terus mendesakku. Namun aku kembali tak berkutik, ketika sebuah rasa hangat kembali menjalar dalam nadiku. Kenapa? Kenapa aku begitu merasa nyaman dalam pelukanmu? bisikku lirih dalam hati.

"Dek!" lembut suaramu mengecup pendengaranku, "bukankah Kak pernah bilang, bahwa Tuhan takkan salah memasangkan hati kedua umatnya, sepasang jiwa adalah satu, yang takkan tertukar dengan jiwa milik yang lain. Maka, jangan pernah mengeluh dengan takdir, Ade' percaya jodoh kan?" tatapan itu menguasa dalam pandanganku, "jika memang kita ada jodoh, Kak akan jadi milik Ade'. Kak minta, lakukanlah semua dengan senyuman Dek, seperti saat pertama kali senyuman itu yang telah membuatku jatuh hati padamu," aahh Kak, lagi-lagi kau mampu cipta senyum yang terpaksa kubuat manis di antara perihku.

**
Kini, waktu pun berlalu. Ku hanya mampu mengenangmu dalam jauhmu. Bagiku, mengenangmu adalah sebuah keindahan, karena mencintaimu tak cukup sebatas kata, namun juga doa.
"Kak, aku akan bahagia meski sekedar membayangkanmu bahagia, dengan siapapun engkau melewatkannya. Mungkin aku naif, ketika aku ucap 'baik-baik saja' padamu. Namun aku tak ingin engkau tahu, bahwa luka ini sering menjemput air mata ketika rinduku menggelayut paksa akanmu."

Biarlah, aku sebatas cerita untukmu. Serupa waktu yang tak lagi diingat, kecuali tentang apa yang pernah ada, antara kita. Bagiku, engkau tetap sebuah wacana indah, yang takkan pernah habis aku baca. Meski bab tentangmu, sudah sampai pada ujung cerita.

Terimakasih untuk segala, Kak!



Sabtu, 13 Desember 2014

Remaja part. 2

Kehadiran Kak Dedi dalam kehidupanku, sungguh membawa dampak yang begitu baik, terlebih tentang kegiatan PA ku beberapa minggu lagi. Dia juga jadi sering datang ke skull untuk mengikuti rapat anggota, dan aku juga jadi tambah semangat deh.

"Ada lagi yang perlu kubantu Dek?" tanyanya siang itu setelah kami selesai rapat di room PA.

"Ehmm, apa ya? oya, tar Kak Dedi kalau gak sibuk bisa anterin Ra gak?" ucapku sambil menyalin beberapa coretan hasil diskusi tadi.

"Mau kemana Dek?" tanyanya lembut. Haduh mbok yo biasa aja tatapannya, tahu gak sih tatapmu itu mengandung hipnotis yang mampu buat mataku tak sadarkan diri. Gerutuku dalam hati.

"Ke warnet Kak, untuk nyalin beberapa laporan hasil rapat tadi" jawabku menutupi rona mukaku yang memerah jambu.

"Hemm, oke. Apa sih yang gak buat kamu" jawabnya mengulas senyum. Glek! Lagi-lagi kau buatku nelen ludah mentah-mentah Kak.

Setelah beres-beres semuanya, aku dan kak Dedi pun meluncur ke warnet dengan diantar si scoopy manisnya, kayak aku. Setiba di warnet aku pun segera menyelesaikan tugasku. Dan tak cukup lama sih, mungkin 30 menit semuanya beres. Setelah semua selesai, Kak Dedi mengajakku menikmati es cendol tak jauh dari warnet tadi, katanya sih itu es cendol favoritnya. Hihihi ... tahu aja nih kalau tenggorokanku sudah seperti musim kemarau, gersang.

"Dek!" Kak Dedi mulai mengawali obrolan.

"Iya Kak" jawabku sambil mengaduk segelas es cendol yang baru diantar si Abang penjualnya. Sruupp! manisnya pun menyapa ronggaku.

"Ada yang ingin Kak omongin" mimik wajahnya sudah mulai berubah, tak sesantai sebelumnya. Dan entah kenapa jantungku pun ikut tak karuan.

"Tentang apa?" tanyaku sok gak tahu.

"Maafin Kak ya Dek, Kak ... emm, Kak ... suka sama kamu Dek. Kamu mau gak jadi pacar Kak?" Glek! kali ini bukan sekedar ludah yang kutelan, tapi es cendol yang sedari tadi ku aduk-aduk untuk mengurangi dag dig dug jantungku.

Kuamati lagi wajah yang tengah berada tepat di hadapanku. Serius. Ahh, tatapan itu kembali menyesatkan pikiranku padanya. Membuat jantung dan seisi dadaku berguncang. Ohh, Tuhan gempakah ini?

"Kamu jangan marah ya Dek, kakak gak ada maksud apa-apa, sungguh. Kak serius sayang sama kamu sejak pertama Kak lihat kamu waktu acara MOS tahun lalu. Mungkin kamu gak menyadari kalau selama ini kak sering memperhatikan kamu" kali ini ia benar-benar membuatku mati duduk manis di sini dengan kata-katanya. Oh, my God ... dia sering merhatiin aku? kok aku gak tahu sih.

"Gak Kak, Ra gak marah kok. Sungguh. Sebenarnya, ehmm ... ehmm, Ra juga suka sama Kak" jawabku malu-malu.

"Bener Ra? makasih ya!" Duh Gusti senangnya, suwer! Makasih.

**
Dua minggu berlalu, aku dan Kak Dedi pun serupa Romy dan Julie versi remaja masa kini, yang kemana-mana bersama. Semut-semut di dinding pun suka iri kalau ngliyat aku dan Kak Dedi lagi jalan berdua. Serasa dunia milik berdua, yang lain? auu ahh.

Dan entah kenapa, aku serasa lupa dengan taruhanku bersama Mey dan Indah. Kabar terakhir yang kudengar, si Mey sudah dapat cowok. Ahh gak heran, pikirku. Kalau Indah, dia masih adem-adem aja sih. Memang sahabatku yang satu ini rasanya anti banget ama cowok.

Dua hari lagi adalah kegiatanku di PA, sementara waktu itu juga adalah batas taruhanku dengan para sahabatku. Rasanya aku ingin segera mengakhiri sayembara itu. Entahlah, perasaanku jadi gak enak.

"Ra, aku mau ngomong sama kamu" ucap Indah yang sore itu datang ke kostku sendirian.

"Ada apa Ndah?" tanyaku ketika Indah sudah duduk di atas kasurku yang tak beranjang itu. Sebagai anak kost aku ngerasa lebih nyaman tidur tanpa beralas ranjang, jadi cukup kasurnya saja di lantai.

"Kamu jadian sama Kak Dedi?" tanyanya tiba-tiba dengan muka yang terlihat tak sedap dipandang itu.

"Iya, beberapa minggu lalu. Kok kamu bisa kenal dia?" tanyaku balik.

"Kamu sahabat macam apa Ra? Hah! Inikah makna persahabatan kita? kenapa? kenapa kamu tega tikam aku dari belakang? Hah!" sungguh  tak ku temui wajah lugu tulalit Indah  kala itu, wajahnya terlihat aneh.

"Lohh, maksudmu apa Ndah?" aku semakin bingung dengan ucapan Indah.

"Kamu lupa, waktu itu sebelum taruhan ini ada, aku pernah cerita tentang anak Budeku yang aku suka kan? dia itu Kak Dedi, Ra. Aku sudah lama suka sama dia, lalu sekarang tiba-tiba aku dengar kamu udah jadian sama dia, dan kamu gak cerita sama aku dan Mey, kamu jahat Ra. Kamu mo jadiin Kak Dedi korban taruhanmu kan?" pekik suara Indah hampir saja buat tetangga kamar kostku keluar nengok, barangkali mereka mengira sedang ada pertengkaran mulut antara aku dengan Indah.

"Gak Ndah, kak Dedi gak ada sangkut pautnya dengan taruhan. Aku sayang dia bukan sebatas karena taruhan, dan Kak Dedi pun sayang aku bahkan sebelum aku dan dia saling mengenal" belaku berusaha mengademkan pikiranku saat itu.

"Baik, kita buktikan ucapanmu" tambah Indah sambil beranjak keluar dari kamarku yang berukuran 3x4 meter itu.

"Apa maksudmu, Ndah?" Indah terus saja keluar meninggalkanku tanpa peduli tanyaku. Ahh, sial. Ada apa ini? kenapa jadi begini. Indah benar-benar berubah, aku tak pernah menemukan sosok Indah seperti tadi, dengan wajah tanpa segaris senyum pun yang biasanya selalu setia hiasi wajah lugunya.

Apakah aku salah membalas perasaan Kak Dedi? toh selama ini Indah tak pernah cerita dengan jelas tentang siapa cowok yang dia suka itu. Dan bagaimana aku bisa tahu jika itu Kak Dedi. Dan seharusnya Indah sadar, kalau Kak Dedi gak suka sama dia, kenapa harus ngancam segala. Jarum-jarum tanya kian membuncah tusuki seisi kepalaku.

Ohh, Tuhan. Taruhan itu, jangan-jangan Indah akan menceritakan tentang taruhan itu pada Kak Dedi? Duhh, kacau nih. Aku benar-benar bingung saat ini, apa yang harus aku lakukan?

To be continues ...