Cerpen
JEJAK PAPUMA
"Apa kabar?" Terdengar garing memang, tapi hanya secuil kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku, setelah dengan susah payah kuredam segala degup dalam dada.
Ia tersenyum, ah... masih senyum yang serupa.
Debur ombak kembali datang, sebelum akhirnya pecah di permukaan batu-batu karang tepian pantai. Tak banyak yang berubah dari keindahan pantai Papuma ini, pasir-pasirnya masih putih bersih bercampur kerang-kerang kecil yang indah. Perahu-perahu nelayan beraneka warna masih rapi berbaris di tepian pantai, dan sebuah tambang besar mengikat kuat di antara pepohonan yang berdiri gagah memberi keteduhan bagi para pengunjung yang menikmati keindahan Papuma.
"Apakah kamu masih mencintaiku?" Suaranya hampir bersamaan dengan datangnya ombak, yang bergulung-gulung menyapu bocah-bocah kecil yang tengah asyik bermain air bersama keluarga mereka.
Sejenak kualihkan pandanganku pada wajahnya, wajah yang menyimpan berjuta kenangan dan cerita. Wajah yang selalu membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia, namun tak lama. Badai perselingkuhan datang merobohkan tiang-tiang cinta yang kami bangun hampir 4 tahun itu, ya... dia satu-satunya lelaki yang kucinta dan kupercaya sepenuh jiwa, bermain hati di belakangku.
Bu Aminah datang membawa dua gelas minuman yang kami pesan, satu gelas kopi manis, dan tentu saja es jeruk favoritku.
Selain dikenal dengan keindahan pantainya, Papuma juga terkenal dengan pantai Malikannya. Pantai yang berada di atas pantai Papuma dengan pasir-pasir yang berbentuk batuan. Dengan dikelilingi pohon-pohon pandan di tepiannya. Serta sebuah bukit di atasnya yang akan memberi sebuah panorama sempurna untuk mengabadikan sebuah moment berharga.
Riuh suara ombak yang datang memecah keheningan, berganti dengan suara-suara pengendara sepeda motor yang baru berdatangan. Tak heran memang, di hari minggu seperti ini... Papuma selalu ramai dikunjungi. Tak sebatas dari dalam kota Jember saja, namun Surabaya, Jogja, bahkan luar Jawa sekalipun ingin menikmati keindahannya. Tak hanya menawarkan pemandangan alami yang sempurna, namun Papuma juga menyediakan sarana Banana Boat bagi para pecintanya.
Kuaduk-aduk es jeruk di depanku, sambil sesekali menikmati tawa-tawa renyah dari arah pantai. Srup! Tenggorokanku terasa lebih segar.
"Apakah kamu masih mencintaiku?" tanyanya sekali lagi.
Pandanganku masih tak beralih dari deretan perahu-perahu nelayan di tepian pantai. Yang dikelilingi para pengunjung yang sudah basah kuyup bermandi riang tanpa beban.
"Apa aku terlambat?" Suaranya makin melemah.
"Kamu lihat para bocah-bocah yang sedang bergembira di bawah kuyup air laut itu? Indah bukan?"
Kuaduk-aduk sekali lagi minumanku, sekedar meleramkan segala emosi yang hampir saja memecah karang pertahanan di dalam dada. Srup!
"Apa kamu masih mencintaiku?"
Kuhela napasku dalam-dalam. Mengatur sekali lagi pikiranku agar tetap tenang, ketika gulungan ombak itu berkali-kali datang menerjangku.
"Keindahan Papuma ini, takkan pernah hilang... meski beberapa kali tangan-tangan tak bertanggungjawab berusaha merusaknya. Bahkan tentang keindahannya di mata para pecintanya takkan berkurang, karena keindahannya abadi. Namun tentang jejak-jejaknya yang tertinggal di tepian pantai, akan lenyap bersama gulungan ombak yang datang bertubi. Begitupun rasaku yang pernah ada untukmu. Kamu tahu, tak mudah bagiku mengumpulkan kepingan-kepingan hatiku yang sudah hancur berkeping-keping? Dan kini, aku sudah bisa bangkit meski dengan kepingan hati yang tak lagi sempurna." Desir angin pantai menyapu terik dalam pikiran kami masing-masing. Sejuk.
"Sejak kamu memutuskan untuk memilih seseorang yang baru kau kenal dulu, aku sakit memang. Namun sakit mengajarkanku untuk ikhlas." Aku merogoh tas pinggang yang kuletakkan di sebelahku. "Namanya Ayras, dia lelaki yang mampu melengkapi kepingan hatiku yang tersisa. Doakan kami, semoga hubungan kami akan selalu indah seindah Papuma ini."
Wajahnya memerah, cemburu atau marah entahlah. Perlahan dia bangkit tanpa mengucap satu kata pun. Dan menghampiri Bu Aminah untuk membayar minuman yang kami pesan. Sebelum akhirnya pergi dan menghilang dari balik tikungan jalan.
Kunikmati sisa es jerukku yang tinggal setengah gelas. Melempar pandangan kembali pada bocah-bocah yang masih bergembira di tepi pantai. Wajah mereka nampak begitu bahagia, bahkan mereka tak peduli ketika ombak tiba-tiba datang menyapu tubuh kecil mereka. Dan aku iri pada mereka.
Ternyata foto bersama kakak sepupuku yang baru datang dari luar negeri kemarin lusa, cukup memberiku manfaat agar terlepas dari jejak-jejak luka yang memang seharusnya hilang. Cinta bukan sekedar persinggahan, dimana pelaku cinta bisa seenak hati mereka pulang dan pergi begitu saja. Cinta adalah pilihan, dan di setiap langkah yang dipilih adalah sebuah pertanggungjawaban... tentang endingnya serahkan pada Tuhan.
Papuma selalu meninggalkan jejak rindu di setiap hati para pecintanya, yang takkan mampu terhapus oleh jarak dan waktu.
Jember, 27 Agustus 2015