Kamis, 27 Agustus 2015

Cerpen

JEJAK PAPUMA

"Apa kabar?" Terdengar garing memang, tapi hanya secuil kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku, setelah dengan susah payah kuredam segala degup dalam dada.

Ia tersenyum, ah... masih senyum yang serupa.

Debur ombak kembali datang, sebelum akhirnya pecah di permukaan batu-batu karang tepian pantai. Tak banyak yang berubah dari keindahan pantai Papuma ini, pasir-pasirnya masih putih bersih bercampur kerang-kerang kecil yang indah. Perahu-perahu nelayan beraneka warna masih rapi berbaris di tepian pantai, dan sebuah tambang besar mengikat kuat di antara pepohonan yang berdiri gagah memberi keteduhan bagi para pengunjung yang menikmati keindahan Papuma.

"Apakah kamu masih mencintaiku?" Suaranya hampir bersamaan dengan datangnya ombak, yang bergulung-gulung menyapu bocah-bocah kecil yang tengah asyik bermain air bersama keluarga mereka.

Sejenak kualihkan pandanganku pada wajahnya, wajah yang menyimpan berjuta kenangan dan cerita. Wajah yang selalu membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia, namun tak lama. Badai perselingkuhan datang merobohkan tiang-tiang cinta yang kami bangun hampir 4 tahun itu, ya... dia satu-satunya lelaki yang kucinta dan kupercaya sepenuh jiwa, bermain hati di belakangku.

Bu Aminah datang membawa dua gelas minuman yang kami pesan, satu gelas kopi manis, dan tentu saja es jeruk favoritku.

Selain dikenal dengan keindahan pantainya, Papuma juga terkenal dengan pantai Malikannya. Pantai yang berada di atas pantai Papuma dengan pasir-pasir yang berbentuk batuan. Dengan dikelilingi pohon-pohon pandan di tepiannya. Serta sebuah bukit di atasnya yang akan memberi sebuah panorama sempurna untuk mengabadikan sebuah moment berharga.

Riuh suara ombak yang datang memecah keheningan, berganti dengan suara-suara pengendara sepeda motor yang baru berdatangan. Tak heran memang, di hari minggu seperti ini... Papuma selalu ramai dikunjungi. Tak sebatas dari dalam kota Jember saja, namun Surabaya, Jogja, bahkan luar Jawa sekalipun ingin menikmati keindahannya. Tak hanya menawarkan pemandangan alami yang sempurna, namun Papuma juga menyediakan sarana Banana Boat bagi para pecintanya.

Kuaduk-aduk es jeruk di depanku, sambil sesekali menikmati tawa-tawa renyah dari arah pantai. Srup! Tenggorokanku terasa lebih segar.

"Apakah kamu masih mencintaiku?" tanyanya sekali lagi.

Pandanganku masih tak beralih dari deretan perahu-perahu nelayan di tepian pantai. Yang dikelilingi para pengunjung yang sudah basah kuyup bermandi riang tanpa beban.

"Apa aku terlambat?" Suaranya makin melemah.

"Kamu lihat para bocah-bocah yang sedang bergembira di bawah kuyup air laut itu? Indah bukan?"

Kuaduk-aduk sekali lagi minumanku, sekedar meleramkan segala emosi yang hampir saja memecah karang pertahanan di dalam dada. Srup!

"Apa kamu masih mencintaiku?"

Kuhela napasku dalam-dalam. Mengatur sekali lagi pikiranku agar tetap tenang, ketika gulungan ombak itu berkali-kali datang menerjangku.

"Keindahan Papuma ini, takkan pernah hilang... meski beberapa kali tangan-tangan tak bertanggungjawab berusaha merusaknya. Bahkan tentang keindahannya di mata para pecintanya takkan berkurang, karena keindahannya abadi. Namun tentang jejak-jejaknya yang tertinggal di tepian pantai, akan lenyap bersama gulungan ombak yang datang bertubi. Begitupun rasaku yang pernah ada untukmu. Kamu tahu, tak mudah bagiku mengumpulkan kepingan-kepingan hatiku yang sudah hancur berkeping-keping? Dan kini, aku sudah bisa bangkit meski dengan kepingan hati yang tak lagi sempurna." Desir angin pantai menyapu terik dalam pikiran kami masing-masing. Sejuk.

"Sejak kamu memutuskan untuk memilih seseorang yang baru kau kenal dulu, aku sakit memang. Namun sakit mengajarkanku untuk ikhlas." Aku merogoh tas pinggang yang kuletakkan di sebelahku. "Namanya Ayras, dia lelaki yang mampu melengkapi kepingan hatiku yang tersisa. Doakan kami, semoga hubungan kami akan selalu indah seindah Papuma ini."

Wajahnya memerah, cemburu atau marah entahlah. Perlahan dia bangkit tanpa mengucap satu kata pun. Dan menghampiri Bu Aminah untuk membayar minuman yang kami pesan. Sebelum akhirnya pergi dan menghilang dari balik tikungan jalan.

Kunikmati sisa es jerukku yang tinggal setengah gelas. Melempar pandangan kembali pada bocah-bocah yang masih bergembira di tepi pantai. Wajah mereka nampak begitu bahagia, bahkan mereka tak peduli ketika ombak tiba-tiba datang menyapu tubuh kecil mereka. Dan aku iri pada mereka.

Ternyata foto bersama kakak sepupuku yang baru datang dari luar negeri kemarin lusa, cukup memberiku manfaat agar terlepas dari jejak-jejak luka yang memang seharusnya hilang. Cinta bukan sekedar persinggahan, dimana pelaku cinta bisa seenak hati mereka pulang dan pergi begitu saja. Cinta adalah pilihan, dan di setiap langkah yang dipilih adalah sebuah pertanggungjawaban... tentang endingnya serahkan pada Tuhan.

Papuma selalu meninggalkan jejak rindu di setiap hati para pecintanya, yang takkan mampu terhapus oleh jarak dan waktu.

Jember, 27 Agustus 2015


Jumat, 07 Agustus 2015

WANITA-WANITA


'Jangan pernah membandingkan orang yang mencintaimu dengan masa lalumu. Hargai dia yang kini berusaha membuatmu bahagia'

***
Apakah aku seorang lelaki yang tolol, yang begitu sulit melepaskan diri dari jeratan masa lalu? Harusnya kini aku bahagia, bukankah ada Nurul yang dengan setia menemaniku? Apalah arti masa lalu, serupa waktu yang tak mungkin akan kembali seperti dulu, selain hanya kenangan dan kepedihan yang kualami. Tapi? Ahhh....

Dilempar semua barang yang berada di atas meja kerjanya. Tangannya mengepal, lalu ia arahkan kepalan itu di salah satu sudut dinding ruangannya. Berulang-ulang. Darah segar pun mulai menetes. Pandangannya kosong. Hanya sesekali deru napasnya yang tersengal menahan sesuatu. Amarah.
***
"Maafin aku, Mas Pras. Kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini, aku sudah menemukan seseorang yang lebih bisa mengerti aku. Semoga Mas Pras bisa mendapatkan gadis lain yang lebih baik dari aku, dan terima kasih untuk semuanya."

"Maksud kamu apa, Dik? Mas gak ngerti," jawab Pras berusaha mencerna kata-kata Arini, kekasihnya.

"Mas, mungkin sulit untuk Mas menerima semua ini. Aku sadar, 4 tahun bukan waktu yang sebentar dalam menjalani sebuah hubungan. Tapi apakah tentang hati bisa dipaksa, sementara kini aku sudah tak punyai perasaan apa-apa sama Mas?" Air mata Arini tertahan, ia berusaha untuk tak menjatuhkannya dan terlihat oleh Pras.

"Dik, kamu sadar kan dengan kata-katamu?" Pras seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar dari mulut wanita yang begitu ia cintai.

"Demi Allah aku sadar, Mas. Kedatanganku kemari hanya untuk mengantarkan ini." Arini mengulurkan sebuah amplop berwarna ungu muda, undangan pernikahan.

***
"Ya Allah, Mas. Apa yang terjadi padamu?" Suara Nurul nampak cemas, segera ia berlari mengambil kotak obat yang terletak tak jauh dari ruangan Pras. Dengan hati-hati, Nurul mulai mengobati luka di tangan Pras.

"Kenapa kamu peduli padaku?" lirih suara Pras.

Nurul tak menjawab pertanyaan Pras, pertanyaan yang Nurul anggap konyol untuk dipertanyakan. Kedua tangannya masih dengan lembut membalut luka di tangan kanan Pras, dengan perban setelah luka itu ia semprotkan obat antibiotik.

"Jawab aku!" Suara Pras hampir saja menjatuhkan sisa gulungan perban di tangan Nurul.

"Dan harus berapa kali aku menjawab pertanyaan yang sama itu, dengan jawaban yang pernah kau dengar sebelumnya agar engkau merasa puas, Mas?" Nurul berusaha tenang menjawab Pras. Nurul tahu benar dalam keadaan seperti apa Pras saat ini. Bukan waktu yang tepat untuk saling berargumentasi yang hanya akan menjadikan keadaan semakin tak menemukan jalan keluar.

***
"Mas, aku sadar. Aku bukan wanita yang sempurna untuk bisa engkau banggakan. Atau sekadar engkau ceritakan kepada teman-temanmu tentang betapa cantik dan hebatnya kekasihmu. Bukan Mas. Aku hanya seorang wanita biasa, bahkan lihatlah! Wajahku begitu jauh dari arti kata cantik, kulitku juga tak seputih mantan kekasihmu yang selalu engkau bangga-banggakan di depanku. Aku juga tak memiliki postur badan yang tinggi, yang mampu membuatmu merasa tidak malu ketika membawaku di depan keluargamu. Tapi aku juga punya hati, Mas. Apa Mas pikir aku tak sakit, setiap kali Mas membanding-bandingkan aku dengan wanita yang pernah Mas cintai? Mas, wanita tidak untuk dibandingkan, wanita ingin menjadi bagian yang berbeda dari apa yang sebelumnya pernah ada.

Dan Mas salah, jika menganggap diamku selama ini karena aku bodoh. Tidak Mas! Aku diam hanya untuk melihat, sampai sejauh mana Mas bisa mengerti dan memahami... betapa wanita jelek ini begitu memiliki cinta yang tulus padamu. Namun rupanya, hatimu telah terpenjara masa lalu, dan bukan karena engkau sulit mengeluarkan diri dari masa lalu itu... namun dengan kesadaran diri, Mas merelakan hati dan jiwa Mas tetap terkurung di sana. Kini aku sudah merasa lelah Mas, maafkan aku! Aku takkan menginjakkan diriku lagi di wilayah yang bukan hakku. Namun kita tetap rekan kerja kok." Nurul menyeka air mata di kedua pipinya. Memang benar, mencintai tanpa dicintai... bahkan dianggap tak ada, sakit.

***
"Kenapa kamu masih peduli padaku? Kenapa? Kenapa?" Suara Pras mulai melemah. "Harusnya kamu benci padaku, Nurul. Harusnya kamu tak mau lagi peduli dengan keadaanku. Aku terlalu sering membuatmu sakit, bahkan aku tak pantas untuk mendapatkan sedikitpun kebaikan darimu. Ucapanmu kala itu membuatku sadar, cinta tak membutuhkan apa yang sempurna, namun cinta dapat menciptakan kesempurnaan yang sempurna. Bukan pada fisik juga apa yang terlihat oleh mata, namun hati.

Aku bodoh, Nurul. Aku bodoh! Ketidakkuasaanku menerima kenyataan, bahwa wanita yang selama ini kucintai lebih memilih orang lain, membuat hatiku buta pada kesempurnaan lain yang jauh lebih berharga. Aku ingin marah pada diriku sendiri, kenapa aku setolol ini. Nurul...." Pras menatap kedua mata Nurul yang duduk di sebelahnya. "Jika kamu mau memberiku kesempatan kedua, ajari aku... ajari aku untuk mencintaimu sepenuh hati." Kedua tangan Pras berusaha meraih tangan Nurul, namun dengan cepat... Nurul mengelak.

"Mas, kenapa Tuhan memberikan penyesalan itu di belakang? Terkadang Tuhan ingin memberi kita waktu untuk merenungi apa yang telah terjadi, agar setiap kesalahan yang pernah ada di depan... tak terulang lagi. Dan aku tak pernah mematahkan kesempatan itu ada atau tidak, karena tentang jodoh... sepenuhnya kekuasaan Tuhan. Hanya saja, hari ini adalah hari terakhirku bekerja di kantor ini. Bapak ibuku di kampung memintaku untuk pulang, dan aku tak tahu alasan apa yang membuat mereka untuk memintaku berhenti kerja.

Pesanku, lebih bijaklah dalam menghargai orang baru, wanita khususnya. Karena setiap hati tak sama, namun yang jelas... wanita tak suka jika dijadikan bahan perbandingan dengan wanita lain. Karena setiap wanita, memiliki keistimewaan yang berbeda. Semoga kelak kita dapat bertemu kembali dengan hati yang bahagia. Aku pamit, Mas."

***
"Assalamualaikum!"

Nurul kaget melihat wajah yang tak asing baginya, sedang berdiri tepat di depan pintu. "Waalaikum salam," jawab Nurul pelan. "Mas Pras?"

"Apa kabar, Nurul?"

"Begitulah kisahku, Mas. Kini aku hanya seorang janda, yang selalu menjadi cibiran tetangga perebut suami orang."

***
"Pokoknya kamu harus nikah sama Pak Handoko. Titik!" bentak bapak Nurul malam itu.

"Tapi Pak, kita belum tahu siapa Pak Handoko itu? Dan bahkan Pak Handoko seumuran Bapak." Percuma saja berdebat dengan bapak, ujung-ujungnya Nurul harus mengikuti perintah bapaknya.

Pernikahan pun berlangsung. Namun satu minggu setelah hari pernikahan Nurul dengan Pak Handoko... datang seorang wanita yang tiba-tiba menampar dan mencaci Nurul.

"Dasar wanita edan. Sudah gak laku ya, sampai harus merebut suami orang? Handoko itu suami saya, dasar wanita gak tahu diri!"

***
Pras seperti kehilangan Nurul yang selama ini ia kenal, yang selalu memberinya semangat juga penuh kesabaran. Yang mampu membuat Pras sadar akan keterpurukan masa lalu. Bahkan membuat Pras merasa begitu berharganya Nurul di hati Pras.

"Pasti sekarang hidup Mas bahagia. Bersama wanita yang dapat mengerti dan menerima Mas apa adanya." Nurul berusaha tersenyum di depan Pras. Ia tak ingin menunjukkan kelemahannya atas kehidupan yang membuat Nurul merasa terpuruk.

"Ya, aku bahagia. Dan akan selamanya bahagia jika aku dapat memiliki wanita sesempurna kamu."

Mata Nurul terbelalak mendengar ucapan Pras. Apa aku tak salah dengar? Apa maksud ucapan Mas Pras? "A-aku...."

"Maukah engkau menikah denganku? Menjadi satu-satunya wanita yang mencintaiku dengan sempurna? Wanita yang dengan sabar membungkus lukaku. Wanita yang sabar dengan segala keegoisan dan kekuranganku. Dan maukah engkau menjadi satu-satunya wanita hingga masa tuaku?"

Nurul menangis, seakan tak percaya dengan semua yang ia dengar dari mulut Pras.

"Aku janda, Mas. Aku pernah menjadi bekas orang, aku---"

"Dik, bukankah cinta yang sempurna itu ialah cinta yang dapat menyempurnakan ketidaksempurnaan? Dan kamu, adalah satu-satunya wanita sempurna yang mampu menyempurnakan cinta dalam hidupku. Apakah kamu masih tak percaya bahwa aku sudah bisa melupakan masa lalu? Aku akan gila, dan akan benar-benar gila... jika aku akan kehilanganmu untuk yang kedua kalinya. Jadi?" Mata Pras menggoda wajah Nurul yang sudah dipenuhi air mata. "Kamu jelek tahu, Dik, kalau lagi nangis gitu. Hidungmu makin gak kelihatan."

Nurul menghamburkan diri di pelukan Pras. "Apa masih mau menikah dengan wanita tak berhidung?"

Jember, 8 Agustus 2015

Selasa, 04 Agustus 2015


KISAH DALAM DIARY

"Apakah kamu yakin akan membukanya, Za? Kan kita tidak tahu itu punya siapa? Apa tak sebaiknya ... kita kasih tahu ibu kost saja?" rengek Tari yang masih ragu dengan keputusan Iza, sahabatnya, untuk membuka sebuah buku diary bergambar sketsa kupu-kupu, yang mereka temukan tadi pagi di halaman belakang rumah kost mereka. Tanpa sengaja.

***
Rerintik gerimis masih bertahan di langit pagi, mengguyur lembut tubuh Tari dan Iza yang tengah mencari cacing di halaman belakang rumah kost untuk praktik biologi di sekolah nanti siang. Namun tanpa sengaja, cangkul yang mereka gunakan untuk menggemburkan tanah, menabrak sesuatu yang keras. Sebuah kotak. Kotor dan penuh lumpur.

Rasa penasaran Za, sapaan akrab gadis berambut ikal itu, memaksa kedua tangannya mengayunkan cangkul lebih dalam lagi.

Setelah dibersihkan, kotak tersebut mereka simpan di bawah kolong tidur kamar Za. "Nanti sepulang sekolah kita buka ya, Ta!"

Sepulang sekolah, rasa penasaran yang sudah menggunung di benak kedua bocah berseragam putih abu-abu tingkat kedua itu, akhirnya dapat meletus juga. Dengan sebuah Cutter, akhirnya kotak tersebut dapat dibuka.

"Diary? Punya siapa ya, Za?" tanya Tari menatap dalam kedua mata sahabatnya.

"Yaelah ... mana ketehek, Ta. Kita buka dan baca isinya ya!" tawar Za singkat.

***
Dear, Perempuanku

Senja kembali menyapa, sayup-sayup rindu perlahan mulai menggoda. Kala tanpa sengaja, kedua mata si tak berdaya ini ... menangkap pelangi dari senyummu yang mewangi.

Perempuanku,
Entah senja ini ... senja yang ke berapa? Bahkan aku tak pernah ingat di mana awalnya. Ketika poros mataku seakan terhenti detaknya, kala parasmu melambai pada sebongkah nyawa yang sudah tiada harga.

Perempuanku,
Mungkin aku adalah sosok yang tiada guna, tak berani ungkap rasa yang senyatanya. Namun biarlah, kunikmati jalanku ... mengagumimu dengan caraku. Meski esok tak pernah aku tau, mampukah senyumku mengembang menatap bahagiamu?

Perempuanku,
Aku berharap, masih tersisa senja esok untukku menatap pelangi dari matamu.

Pecintamu

***
"Ini diary punya siapa ya, Za?" tanya Tari selesai membaca lembar ke-7 pada buku diary tersebut.

"Yaelah ... nanya lagi nih anak. Mana kutahu, Tataku yang oon. Kan kita nemunya bareng-bareng tadi pagi. Tapi kayaknya nih buku yang punya laki deh. Kan kagak mungkin, perempuan manggil 'Perempuanku'," ucap Za dengan gaya sok detektif.

"Tapi kayaknya kasihan deh, Za. Seperti cinta bertepuk sebelah tangan, namun cintanya sungguh tulus, mencintai tanpa harap untuk memiliki," tambah Tari dengan raut wajah yang dramatis, sambil membayangkan adegan sinetron di tivi. Tanpa sadar, Tari telah merebahkan kepalanya di atas bahu kiri Za, sembari senyum-senyum sendiri menatap pada langit-langit kamar yang hanya dihiasi lampu neon kecil itu.

"Halah, sok sinetron gayamu," sanggah Za melepaskan diri dari sandaran gratis Tari. "Tapi sumpah deh, aku jadi penasaran akan lanjutan kisah ini. Tentang siapa tokoh dalam diary ini? Dan kenapa dia menyimpannya dengan cara dikubur di dalam tanah?" Dengan mimik wajah yang serius, Za mencoba menjadi detektif yang mengungkap misteri di balik diary.

"Ya udah, kita lanjut lagi ya bacanya!" tambah Tari semangat.

***
Dear Perempuanku,
Langit senjaku kembali mendung, bukan lantaran perih yang kian menyayat jantung. Bukan! Atau karena hujan yang masih bertengger di batang hari.

Perempuanku,
Namun serupa siang yang tergigil mentari. Dan bagaimana bisa? Matahari yang seharusnya menghangatkan mampu menggigilkan?

Perempuanku,
Dan itulah aku, serupa dahan tanpa daun. Serupa akar tersabit kering. Ketika senyummu, juga renyah suaramu ... tiada lagi menggodaku dalam angan.

Perempuanku,
Kemana engkau seharian ini? Tak dapatkah engkau rasakan, si penyakitan ini ... menantimu dalam resah yang menghujam tak berdarah?

Perempuanku,
Mungkin aku bisa menahan sakit meski ratusan jarum suntik menyusup pada sel-sel darahku yang kental. Namun tidak dengan mataku menahan selarik senyummu di ujung jalan.

Pecintamu

***
Hiks! Terdengar isakan kecil dari Tari. Memang gadis penyuka susu coklat ini, lebih gampang mewek terbawa suasana dibanding Za, yang agak tomboy. Dipeluknya bantal guling yang sedari tadi tersandar di antara kedua remaja ABG tersebut dengan erat.

"Woi, bantal gulingku itu. Jangan kamu buat ngelap ingusmu ya! Baru kucuci kemarin," tegas Za sambil melotot ke arah Tari yang sudah memeluk bantal guling berwarna kuning telur itu erat. Tari yang tak peduli ancaman Za, terus menenggelamkan wajahnya di tengah-tengah keempukan bantal gulingnya Za.

Za dan Tari memang tak sekamar. Namun kedua remaja penggemar bola basket ini, sering menghabiskan waktu bersama. Bukan karena se-hobby saja, namun keduanya sudah seperti saudara.

"Ih, pelit amat sih, Za. Si Amat saja gak pelit kayak kamu," jawab Tari sekenanya.

"Biarin, weksss!" jawab Za menarik paksa guling dari cengkeraman pelukan Tari. "Aku jadi makin penasaran deh dengan sosok pria ini. Jika di jaman sekarang, memang ada orang yang sebegitu cintanya tanpa berani untuk mengungkapkan?" Ditatapnya wajah Tari yang juga sedang berpikir tentang hal serupa seperti apa yang Za pikirkan. Wajah mereka nampak serius. "Apakah jangan-jangan ---" Dihentikan kalimatnya sambil menatap lebih dalam ke kedua mata Tari.

Tari yang penakut, segera memajukan tempat duduk badannya lebih merapat pada Za. "Jangan-jangan apa, Za? Iihh, kamu jangan nakut-nakutin aku dong, Za!" tambah Tari sambil melingkarkan tangannya di lengan kanan Za.

"Ihh, dasar penakut kamu. Maksud aku itu ... jangan-jangan diary ini milik suami ibu kost, atau saudaranya. Tapi kan gak mungkin kita kasih tau ibu kost, yang ada kita dimarahi gara-gara kita udah gali-gali tanah di halaman belakang rumahnya tanpa ijin," ucap Za cemas.

"Apa kita baca diary ini sampai abis, Za? Supaya kita dapat ungkap tentang siapa sosok lelaki itu, dan dimana tempat tinggalnya?"

"Tumben ide kamu brilliant, Ta."

***
Dear Perempuanku,
Ini adalah lembar ke-99, itu artinya ... tinggal satu lembar lagi, aku dapat mengeja senja. Yang mampu kunikmati sebagai selimut malamku nanti yang panjang.

Perempuanku,
Aku berterima kasih kepadamu. Karenamu ... lilin kecil ini merasa punyai arti, meski sekadar menerangi ruang yang teramat sepi. Namun hadirmu, mampu memberi semangat luar biasa meski tanpa engkau sadari.

Perempuanku,
Engkau masih ingat, tentang bocah perempuan kecil yang mengantarkan setangkai mawar kepadamu? Iya ... aku yang menyuruhnya. Dan betapa bahagia jiwaku, tatkala ku tau ... engkau menyimpannya hingga kini. Meski engkau tak pernah tau, siapa pengantar bunga itu.

Perempuanku,
Dan maafkan aku! Esok lusa, aku tak dapat lagi melukis indahmu dalam diary usangku ini. Bukan kulelah, bukan! Karena bagaimana aku bisa lelah, jika engkau adalah sumber semangat hidupku?

Perempuanku,
Barangkali sampai di lembar ini, Tuhan mentakdirkanku untuk mengagumi, dan merindukanmu dalam hening. Dalam sendiri yang hanya ditemani kasihmu dalam angan. Semata. Tapi sungguh, aku bahagia.

Perempuanku,
Semoga engkau bahagia. Meski aku telah tiada, namun rasa yang terlukis namamu, takkan pernah tiada. Ia akan selalu abadi. Abadi. Tanpa harus engkau tau. Dan aku akan pergi dengan tenang. Pesanku, telah aku tinggalkan untukmu melalui Notaris dan pengacaraku.

Semoga manfaat!

Menantimu di pintu surga-Nya
;Pecintamu

***
Mata Za, dan Tari saling adu pandang. Glek! Keduanya bersamaan menelan ludah masing-masing. Nampak wajah kedua remaja ini berubah pucat. Segera Za menutup diary tersebut. Dan kembali keduanya saling menatap.

"Ja-jadi ---" Kalimat Tari terputus-putus.

Glek! Terdengar suara Za yang menelan kembali sisa ludah secara paksa ke tenggorokan.

Kriyek!
Bunyi pintu kamar Za yang dibuka dari luar. Aaaahhhh! Teriak kedua gadis yang masih belum ganti seragam itu bersamaan, sambil saling berpelukan. Tari mendekap erat tubuh Za sembari menutup kedua matanya. Sementara Za yang kaget akan polah Tari, ikut-ikutan teriak lalu mendekap tubuh Tari.

"Woi, pada ngapain sih teriak-teriak? Emang kalian pikir aku hantu apa? Udah hampir maghrib tau ... kagak ada yang mau mandi ya?" Kali ini teriakan bercampur kesal, keluar dari mulut Nia, teman se-kost sama Za dan Tari.

Menyadari kehadiran Nia, segera Za dan Tari melepas pelukan mereka dan menatap wajah temannya yang berdiri di tengah pintu itu dengan cengengesan.

"Hehehe. Abis kamu ngangetin sih," alasan Tari sambil membenarkan posisi duduknya.

Sepeninggal Nia dari kamar Za, kedua bocah ABG itu kembali melempar pandang. "Za, aku mandi bareng ama kamu, ya?" pinta Tari yang masih ketakutan.

"What? Enak aja. Kagak ada! Mandi sendiri-sendiri," jawab Za ketus. Kemudian Za bangkit dan mengambil handuk yang tergantung di hunger belakang pintu kamarnya, meninggalkan Tari yang masih tertegun dengan kisah yang habis dia baca dalam diary.

"Om, Mbah, Pakde ... jangan ganggu saya ya! Sumpah! Saya tadi gak sengaja baca kisahnya dalam diary, jangan marahi saya ya! Kalau mau marahi, itu tuh ... si Za aja, dia yang maksa buat baca. Suwer!" ucap Tari dengan gaya lugunya. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, ia angkat ke atas kepala sambil senyum memperlihatkan gigi kawatnya.

Aaahhhh!
Teriakan kembali terdengar dari dalam kamar mandi. Astaga! Bukankah Za lagi mandi? Jangan-jangan! Segera Tari berhambur keluar kamar dan menuju kamar mandi, dimana Za tengah berada di dalamnya.
Tok! Tok! Tok!
"Za, kamu gak pa-pa 'kan?" teriak Tari dari luar kamar mandi.

"Tolong!" jawab Za dari dalam kamar mandi.

"Bukain pintunya!" perintah Tari panik.

Akhirnya pintu kamar mandi terbuka, nampak Za tengah naik di atas bak air sambil memeluk gayung.

"Kamu kenapa, Za?" tanya Tari khawatir.

"A-ada kecoa," jawab Za polos.

"Uuuhh, dasar! Gaya aja yang sok tomboy. Tapi takutnya ama kecoa. Au ahh! Urus sendiri tuh kecoa," ucap Tari nyelonong pergi, yang merasa kesal dengan polah Za, sahabatnya.

Jember, 3 Agustus 2015